Oleh: Endah Sulistiowati, Tri Widodo, dan AM. Pamboedi
Dalam industri perunggasan, _Slow Growth Syndrome (SGS)_ atau dikenal juga sebagai _Runting-Stunting Syndrome (RSS)_ adalah gangguan pertumbuhan pada ayam (khususnya broiler) yang mengakibatkan tubuhnya kerdil. Sindrom ini memiliki sebutan lain seperti malabsorpsi sindrom, sindrom ayam pucat, dan artritis viral.
Penyebab utama ayam kerdil sejak fase DOC (Day Old Chick) antara lain berasal dari kualitas bibit yang rendah. DOC berkualitas buruk dapat dipengaruhi oleh faktor genetik indukan, ukuran telur tetas terlalu kecil, atau usia induk yang masih terlalu muda.
Di lapangan, kasus kekerdilan ayam umumnya terbagi menjadi dua:
1. _Runting_ – Kondisi gagal tumbuh permanen, berat badan hanya mencapai 50-75% dari ayam normal seusianya.
2. _Stunting_ – Pertumbuhan lambat bersifat sementara, berat badan sekitar 75-90% dari rata-rata.
Ketika pertumbuhan terhambat, perkembangan sistem imun juga terpengaruh. Akibatnya, ayam menjadi rentan terhadap infeksi penyakit, bahkan respons vaksinasi sering tidak optimal sehingga tingkat antibodi yang terbentuk tidak merata.
Ayam yang menunjukkan tanda kerdil sejak dini (ukuran tubuh 40% lebih kecil dari seumurannya) harus segera dipisahkan dari populasi. Tindakan _culling_ (seleksi dan pemusnahan) diperlukan untuk mencegah penularan penyakit dan mempertahankan produktivitas kandang secara keseluruhan, mengingat ayam kerdil berpotensi menjadi sumber penyakit dan sulit berkembang dengan normal.
Di ranah politik, suasana mencekam menyelimuti Kantor Wakil Presiden setelah Gibran Rakabuming Raka didesak mengundurkan diri oleh kelompok purnawirawan TNI. Desakan ini bukan berasal dari segelintir orang, melainkan gerakan besar yang mengklaim telah mengumpulkan 300+ purnawirawan lintas matra untuk mendorong pemakzulan Gibran secara resmi melalui MPR.
Selamat Ginting, Pengamat Militer dan Politik dari UNAS, mengungkapkan bahwa ia sempat bertanya langsung kepada Try Sutrisno tentang isu Gibran saat silaturahmi di kediaman mantan Wapres tersebut pada 9 April 2025. Menurutnya, Try menyatakan banyak pihak yang sepemikiran dengannya mengenai hal ini.
"Saya tidak habis pikir dengan Gibran. Sangat disayangkan orang seperti Pak Jokowi, yang seharusnya berpikiran luas, malah memaksakan anaknya maju. Kini kita semua yang menanggung konsekuensinya,"* ujar Selamat mengutip pernyataan Try.
Herdiansyah Hamzah, Dosen Hukum Tata Negara Unmul, menilai desakan mundur terhadap Gibran berakar pada masalah masa lalu, terutama proses pencalonannya yang dianggap cacat etik. Ia menegaskan bahwa rekam jejak kontroversial Gibran—termasuk penggunaan institusi peradilan untuk meloloskan syarat pencalonan—akan terus menjadi bahan kritik.
Sorotan juga mengarah pada video monolog Gibran berjudul "Generasi Muda, Bonus Demografi, dan Masa Depan Indonesia" yang diunggah di YouTube pada 18 April 2025. Video berdurasi 6 menit 19 detik itu menuai kontroversi setelah jumlah dislike (130.202) melampaui like hingga 24 April 2025. Fenomena ini memicu pertanyaan: apakah pemimpin dengan legitimasi lemah dan kinerja buruk layak diberhentikan?
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Penguasa Yang Cacat
Mayoritas pemimpin yang pada awal kepemimpinannya dinyatakan sukses dan dikagumi banyak orang, tetapi akhirnya harus jatuh dan gagal serta baru diketahui bagaimana cara ia memimpin dalam proses kepemimpinannya. Sebagai contoh, Presiden Suharto yang pada awal kepemimpinannya banyak dikagumi banyak pihak, akhirnya harus turun dengan paksa dari puncak kepemimpinannya. Presiden Amerika Serikat, Nixon, akhirnya juga harus turun dari jabatan kepresidenan karena terkait kasus watergate dan masih banyak lainnya.
Sementara itu, di tempat lain, banyak juga para pemimpin yang dinyatakan sukses dari keseluruhan masa kepemimpinannya, seperti Presiden Mandela yang berhasil memimpin negara Afrika Selatan dan terlepas dari masalah apartheid. Lee Kwan-yu berhasil memajukan negara Singapura menjadi negara maju di Asia Tenggara. Mahatir Muhammad yang berhasil menata ulang negara Malaysia dan maju pesat di berbagai bidang kehidupan.
Dan begitupun Nabi Muhammad SAW. Pada saat ini banyak diakui sebagai pemimpin umat yang paling berpengaruh di Dunia. Meskipun beliau telah wafat ratusan tahun, umatnya terus bertambah dan ajarannya masih dianut oleh berbagai bangsa di Dunia.
Belum hilang dari ingatan kita, betapa pemilu 2024 untuk memilih petinggi di lembaga eksekutif merupakan momen suksesi yang penuh polemik. Dari awal lolosnya Gibran Rakabuming sebagai wakil dari pasangan presiden dan wapres terpilih Prabowo Subianto, hingga pemilu yang diwarnai dengan kecurangan-kecurangan dan juga campur tangan/_cawe-cawe_ ayahanda dari sang wakil presiden terpilih, Joko Widodo yang saat itu masih memegang kekuasaan.
Sampai-sampai, ada beberapa kaum intelektual dan juga sebagai pendidik ilmu hukum ketatanegaraan dari beberapa perguruan tinggi membuat satu film dokumenter tentang peristiwa itu, _dirty vote_.
Tidak kita pungkiri, lolosnya Gibran Rakabuming menjadi pendamping Prabowo Subianto di perhelatan pilpres 2024, terbukti ada "dukungan" dari sang paman Gibran Rakabuming yang kebetulan mempunyai kekuasaan di lembaga yudikatif, ketua Mahkamah Konstitusi. Dimana terbukti turut andil dalam mengubah aturan main batas umur bagi calon wakil presiden. Dan akhirnya mendapat vonis pencopotan dari jabatan sebagai ketua Hakim Mahkamah Konstitusi dan tidak diperbolehkan turut mengadili perkara hukum yang berkaitan dengan Gibran Rakabuming dan juga kolega atau keluarga lainnya dari dewan kode etik Mahkamah Konstitusi.
Kemudian, sejarah terjadi pada sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/4/2024). Untuk kali pertama, majelis hakim tidak bulat dalam memutus dugaan kecurangan pemilu. Dari 8 hakim yang memutus sengketa ini, 5 hakim setuju menolak permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sedangkan 3 lainnya menyatakan tidak setuju (dissenting opinion, pendapat berbeda) atas penolakan itu. Artinya, 3 dari 8 hakim yang menyidang sengketa pilpres tersebut melihat secara substansial adanya kecurangan-kecurangan dan "cawe-cawe" kekuasaan yakni ayahanda sekaligus presiden Joko Widodo saat itu.
Dan bagaimana pula kita melihat etika dari ketua penyelenggara pemilu, yakni KPU yang berulangkali kena sorotan terkait penyelenggaraan pemilu 2024. Dan akhirnya dimakzulkan dari jabatannya.
Dalam 100 hari atau awal kepemimpinan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, terlihat Indonesia belum baik-baik saja. Masih terasa gelap dan dalam ketidakpastian. Mulai dari misteri pagar laut, hingga misteri kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Seperti halnya _Slow Growth Syndrome (SGS)_ atau dikenal juga sebagai _Runting-Stunting Syndrome (RSS)_ pada ayam, penyebab utama ayam kerdil sejak fase DOC (Day Old Chick) antara lain berasal dari kualitas bibit yang rendah. DOC berkualitas buruk dapat dipengaruhi oleh faktor genetik indukan, ukuran telur tetas terlalu kecil, atau usia induk yang masih terlalu muda.
Pada konsep pemilihan pemimpin yang baik, tentunya telah dikonsep dan disepakati bersama-sama sejak lama di antara orang cendekia nan bijak yang duduk di badan legislatif dan eksekutif terdahulu. Namun, ketika dipaksakan perubahan seketika melalui putusan MK seperti yang terjadi di tahun 2024 tersebut, tentu akan berdampak secara berangsur maupun bahkan cepat terhadap kualitas pemimpin.
Jika dampak yang timbul bernilai baik atau positif, tentu tidak menjadi soal atas pertaruhan perubahan tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya, tentu menambah panjang persoalan bangsa yang terjadi. Sangat berbeda ketika perubahannya berlaku efektif beberapa tahun kemudian, atau mulai diberlakukan pada pemilu 2029. Tentu, telah melalui adaptasi yang cukup untuk menjaring calon-calon pemimpin-pemimpin muda yang benar-benar matang, berkualitas, dan kompeten membawa perubahan yang lebih baik bagi negara Republik Indonesia.
Hingga saat ini, belum terang benderang bagi kita semua mengenai ijazah presiden sebelumnya, Joko Widodo. Baik ijazah SMA hingga ijazah pendidikan tingginya. Sebagian masyarakat masih meragukan keasliannya. Padahal, ijazah tersebut dipersyaratkan wajib bagi seseorang untuk mendaftar sebagai pemimpin di negeri ini. Jika memang yang terjadi adalah tidak mempunyai ijazah tersebut, maka telah terjadi maladministrasi. Kita sendiri yang telah mencederai asa mempunyai indukan yang sehat yang mampu membawa negeri ini meraih _baldatun thoyyibatun warrobbun ghofuur_.
Dampak Penguasa Yang Cacat Sejak Pencalonan dan Minim Andil
Penguasa yang cacat sejak proses pencalonannya—baik karena rekam jejak bermasalah, manipulasi aturan, atau ketiadaan kapabilitas—akan menimbulkan dampak sistemik yang merugikan rakyat. Seperti ayam kerdil (_stunting_) yang menjadi beban bagi populasi unggas, pemimpin yang lemah secara legitimasi dan kinerja akan menjadi sumber persoalan sosial, politik, bahkan ekonomi. Berikut dampak-dampak nyata yang muncul:
1. Melemahnya Kepercayaan Publik terhadap Institusi Negara
Proses pencalonan yang cacat, terutama ketika melibatkan intervensi kekuasaan (seperti penggunaan Mahkamah Konstitusi untuk mengubah syarat usia calon), merusak citra lembaga tersebut. Masyarakat akan memandang sistem politik sebagai arena yang tidak adil, dikuasai oleh elit, dan tertutup bagi aspirasi rakyat. Dalam jangka panjang, hal ini memicu apatisme politik atau bahkan ancaman aksi negatif terhadap negara.
Contoh nyata terlihat dari reaksi publik terhadap video monolog Gibran yang mendapat lebih banyak _dislike_ daripada _like_. Ini adalah indikator ketidakpuasan massal terhadap pemimpin yang dianggap tidak representatif. Ketika kepercayaan hilang, stabilitas sosial dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah juga menurun.
2. Kebijakan Tidak Pro-Rakyat dan Pembangunan yang Timpang
Penguasa dengan legitimasi lemah cenderung lebih fokus pada upaya mempertahankan kekuasaan daripada menyelesaikan masalah rakyat. Mereka sering mengandalkan populisme jangka pendek atau proyek mercusuar yang tidak substansial, sementara kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan terabaikan.
Analoginya mirip dengan ayam _stunting_ yang tidak mampu berkontribusi pada produktivitas kandang. Pemimpin seperti ini hanya menjadi "beban sistem" karena kebijakannya tidak menyelesaikan akar masalah, malah memperlebar ketimpangan. Misalnya, jika seorang penguasa lebih banyak menghabiskan waktu untuk kampanye pencitraan daripada merumuskan strategi penurunan harga pangan, rakyatlah yang akhirnya menderita.
3. Kerentanan terhadap Krisis dan Konflik Sosial
Pemimpin yang minim andil biasanya gagal membangun kohesi sosial. Ketidakmampuannya merangkul berbagai kelompok—termasuk oposisi dan masyarakat sipil—memicu polarisasi. Dalam situasi krisis (misalnya resesi atau bencana alam), ketiadaan kepemimpinan yang kuat dapat memperparah chaos.
Kasus desakan mundur terhadap Gibran oleh 300+ purnawirawan TNI menunjukkan betapa rapuhnya posisi pemimpin yang tidak didukung oleh legitimasi luas. Jika penguasa terus bertahan tanpa dukungan nyata, konflik horizontal maupun vertikal berpotensi meledak, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus pemakzulan di berbagai negara.
4. Hilangnya Kultur Akuntabilitas dalam Pemerintahan
Ketika pemimpin bisa lolos ke tampuk kekuasaan meski cacat proses, hal itu menciptakan preseden buruk: aturan bisa dilanggar asalkan punya akses kekuasaan. Ini merusak prinsip _rule of law_ dan mendorong praktik korupsi, nepotisme, serta penyalahgunaan wewenang.
Rekam jejak Gibran yang diwarnai kontroversi (seperti dispensasi pencalonan dan isu etik) menjadi contoh bagaimana cacat sistemik bisa terlembaga. Jika tidak ada konsekuensi tegas, budaya "asal menang" akan menggantikan munculnya penguasa berdasarkan pada kemampuan, prestasi, dan kinerja individu dan rakyat semakin sulit mengharapkan pemerintahan yang bersih.
5. Ancaman terhadap Stabilitas Nasional
Dalam skala makro, penguasa yang tidak kompeten dan tidak legitimate berisiko melemahkan kedaulatan negara. Kebijakan luar negeri yang tidak strategis, ketergantungan pada pihak asing, atau ketidakmampuan mengelola sumber daya nasional bisa dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang ingin mengambil keuntungan dari kelemahan Indonesia.
Dari dampak-dampak di atas, terlihat jelas bahwa mempertahankan penguasa cacat sejak pencalonan sama halnya dengan membiarkan "ayam kerdil" menginfeksi seluruh kandang. Apakah solusi tegas—seperti _culling_ dalam industri peternakan—diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih parah? Tentu fakta dari dampak nyata yang ditimbulkan harus dikaji secara mendalam dan dilakukan dengan mekanisme yang benar. Bagaimana mekanisme penggantian penguasa yang tidak layak menurut sistem Islam? Inilah yang akan dibahas dalam bagian solusi.
Proses Pencalonan Penguasa yang Perduli Rakyat dalam Sistem Islam
Ongkos demokrasi terbilang mahal menuju kursi kekuasaan. Namun, para pejabat yang duduk di kursi kekuasaan akan mendapatkan gaji dan tunjangan yang sangat menggiurkan. Sehingga, inilah yang menjadikan orang - orang berbondong-bondong menginginkan hidup enak dan nyaman, bahkan berlimpah uang dengan menjadi penguasa atau pun menjadi anggota dewan.
Modal utama para kandidat untuk memenangkan setiap pemilu adalah dengan memoles diri lewat pencitraan. Politik pencitraan ini diakomodasi oleh sistem demokrasi. Dalam demokrasi, ada paradigma bahwa yang banyak perolehan suaranya ialah yang menang. Pencitraan yang sudah dipolitisasi dapat mudah ditukar dengan materi.
Akibat pencitraan yang dibangun minim dengan kapasitas kepemimpinan, akhirnya kita mendapati demokrasi gagal melahirkan pemimpin beriman. Ini karena yang dipertaruhkan adalah citra baik dengan menggelontorkan banyak uang, bukan berdasarkan kemampuannya untuk menjadikan syariat Islam sebagai aturan dalam kehidupan.
Akhirnya, rakyat kembali dipimpin oleh para pejabat yang sibuk cari uang untuk mengembalikan modal saat bertarung dalam pemilihan. Pemimpin pun tidak berempati, tidak peduli, dan mengeluarkan keputusan yang jauh dari rasa kemanusiaan. Sebut saja, kebijakan menaikkan harga BBM dan rencana mengonversi gas LPG 3 kg ke kompor listrik, termasuk menaikkan PPH, dsb,.
Sistem ini juga rawan dari campur tangan asing. Lewat boneka-boneka mereka yang berlaga, negara-negara imperialis asing mendukung penuh calon unggulan mereka. Selanjutnya, mereka mengendalikan “para boneka” kapan saja untuk kepentingan mereka, termasuk menyiapkan undang-undangnya.
Oleh sebab itu, seharusnya publik mencampakkan sistem demokrasi, bukan malah melakukan restorasi. Semestinya pula kaum muslim kembali ke sistem politik Islam yang memangkas berbagai kejahatan serta keburukan dalam demokrasi.
Untuk itulah, kita butuh sistem alternatif yang bisa melahirkan pemimpin yang beriman dan peduli terhadap rakyatnya. Sistem yang mampu mengantarkan rakyatnya pada kesejahteraan. Sistem shohih yang berasal dari Sang Maha Kuasa, yaitu sistem politik Islam.
Sistem politik Islam bisa memangkas biaya politik yang mahal. Sebagai contoh, Khalifah dipilih dalam waktu yang singkat (paling lama 3 hari 3 malam), tidak dalam waktu yang lama seperti dalam demokrasi. Pemilihan khalifah pun tidak bersifat regular seperti lima tahun sekali yang menyedot biaya sangat mahal.
Khalifah tetap menjadi kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam. Sementara itu, kepala daerah dipilih oleh Khalifah dan kapan saja boleh diberhentikan olehnya. Negara pun tidak disibukkan oleh pilkada rutin yang menguras energi, menimbulkan konflik, dan menghabiskan banyak uang.
Namun, umat Islam tidak perlu khawatir jika Khalifah akan menjadi diktator. Ini karena rakyat diperbolehkan mengoreksi kepala negara yang menyimpang dari kewajibannya. Terdapat pula Mahkamah Mazhalim yang mengadili perselisihan antara rakyat dan penguasa.
Dengan adanya sistem politik Islam, dominasi kapitalis dalam pembuatan UU yang berbahaya juga akan dibabat habis. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariat, bukan manusia. Para kapitalis tidak akan bisa membuat atau memengaruhi berbagai kebijakan dan produk hukum sebagaimana dalam demokrasi.
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunah. Kepala negara akan menerapkan syariat Islam dan menggali hukum-hukum Islam berdasarkan sumber hukum tersebut. Pergantian kepemimpinan dalam Islam berjalan efektif, murah, dan efisien.
Penutup
Lolosnya Gibran sebagai wakil presiden di Indonesia periode 2024 - 2029, semakin membuka mata kita, bagaimana sistem demokrasi ini dilaksanakan di Indonesia. Termasuk munculnya para pemimpin yang nirempati, tidak peduli dengan rakyat, bahkan kebijakannya menyakiti hati rakyat. Semua itu tidak terlepas dengan sistem demokrasi yang tidak mampu menciptakan pemimpin yang beriman dan dicintai rakyat.
Sehingga kita butuh sistem alternatif yang mampu mewujudkan impian umat yaitu adanya pemimpin yang peduli dengan rakyatnya. Nabi Muhammad SAW. Pada saat ini banyak diakui sebagai pemimpin umat yang paling berpengaruh di Dunia. Meskipun beliau telah wafat ratusan tahun, umatnya terus bertambah dan ajarannya masih dianut oleh berbagai bangsa di Dunia.
Sistem Islam memiliki tata cara memilih pemimpin yang efisien, tidak membutuhkan banyak biaya, dan tentunya mampu menghadirkan pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyat, bahkan sudah terbukti selama 13 Abad.