Nyontek, Sudah Menjadi Budaya di Negeri Kapitalis




Oleh: Septa Yunis 

Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) usai dilaksanakan. Di tengah pelaksanaannya, tidak sedikit peserta yang terbukti curang. Seperti yang dilansir Kompas.com (25/04/2025), Pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025 belum genap sepekan, namun indikasi kecurangan sudah mencuat. Dalam dua hari pertama ujian, panitia menemukan total 14 kasus kecurangan yang melibatkan para peserta.

Pada Rabu (23/4/2025), hari pertama UTBK berlangsung, Tim Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) mencatat sembilan kasus kecurangan. Sementara di hari kedua, Kamis (24/4/2025), ditemukan lima kasus lainnya. Ketua Umum Penanggung Jawab SNPMB, Prof. Eduart Wolok, mengungkapkan bahwa dari 196.328 peserta yang hadir di sesi 1 hingga 4, kecurangan terjadi pada 0,0071 persen peserta.

Pemanfaatan Teknologi untuk mengakali test UTBK menggambarkan buruknya akhlak calon mahasiswa.  Hal ini juga mengukuhkan gagalnya sistem Pendidikan dalam mewujudkan generasi berkepribadian Islam dan memiliki ketrampilan. Hal ini dikuatkan oleh survey KPK, yang menyebutkan banyak siswa SMA dan mahasiswa yang menyontek.

Maraknya perilaku menyontek di kalangan pelajar bukanlah sekadar masalah kedisiplinan individu. Di balik perilaku tersebut, ada sistem yang membentuk cara berpikir dan kebiasaan generasi muda. Salah satu sistem yang patut ditelusuri pengaruhnya adalah sistem pendidikan kapitalis—sebuah sistem yang menanamkan orientasi materialistik dan kompetisi tak sehat dalam dunia pendidikan.

Dalam sistem kapitalis, pendidikan dipandang sebagai komoditas, bukan proses pembentukan kepribadian manusia seutuhnya. Sekolah dan universitas menjadi “pabrik pencetak tenaga kerja,” dan siswa menjadi konsumen jasa pendidikan. Nilai dan ijazah menjadi produk utama, bukan ilmu atau moral.

Dengan orientasi hasil dan keuntungan, siswa diajarkan untuk mengejar angka, gelar, dan pekerjaan bergaji tinggi. Dalam situasi seperti ini, menyontek dianggap sebagai jalan pintas untuk mencapai target. Proses belajar tak lagi bernilai ketika satu-satunya ukuran keberhasilan adalah skor di atas kertas.

Sistem kapitalis mendorong komersialisasi pendidikan. Sekolah-sekolah swasta bermunculan sebagai bisnis elit yang menjual “prestise” dan “masa depan cerah.” Di sisi lain, sekolah negeri kekurangan dana dan sarana, menciptakan kesenjangan kualitas pendidikan. Situasi ini makin menumbuhkan mentalitas pragmatis: yang penting lulus dan sukses secara ekonomi, tak peduli caranya.

Dalam banyak kasus, nilai tinggi menjadi tolok ukur kesuksesan institusi pendidikan, bukan integritas siswa. Maka tak heran jika berbagai pihak dalam dunia pendidikan—dari siswa hingga pengelola sekolah—terlibat dalam praktik curang demi mempertahankan “citra baik.”

Generasi nyontek bukan muncul begitu saja. Ia adalah produk dari sistem yang memisahkan pendidikan dari nilai dan menjadikannya ajang persaingan materialistik. Selama pendidikan masih berada di bawah bayang-bayang sistem kapitalis, praktik-praktik curang akan terus tumbuh subur. Reformasi pendidikan sejati hanya mungkin terjadi bila kita berani keluar dari belenggu kapitalisme dan kembali kepada pendidikan yang membina akal sekaligus nurani.

Hal ini berbeda ketika dunia pendidikan menggunakan sistem pendidikan Islam. Dimana aturan-aturannya sesuai dengan aturan Islam dan sudah pasti aqidah Islam yang menjadi dasar. Aqidah Islam mewajibkan semua umat Islam bertaqwa sebagai konsekuensi keimanannya. 

Ketaqwaan terwujud dalam sistem yang diterapkan oleh negara, termasuk sistem pendidikan Islam. Pada sektor pendidikan, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian islami dan membekali para peserta didik dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut, maka hal tersebut dilarang.

Dengan demikian, sistem pendidikan Islam akan mencegah para peserta didik untuk berbuat kecurangan. Menjadikan peserta didiknya takut kepada Allah. Dengan ketaqwaan dan kepribadian Islam, kemajuan teknologi pun akan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Allah, dan untuk meninggikan kalimat Allah. Selain itu, dalam sistem pendidikan Islam sarana dan prasarana memadai. Pendidikan dalam sistem Islam diselenggarakan negara secara gratis bagi seluruh rakyat sehingga siswa tidak terbebani dengan biaya sekolah/kuliah yang mahal. Meskipun gratis, kualitas pendidikan dalam sistem Islam dijamin terbaik, bahkan mampu mengungguli negara-negara yang lain.

Maka demikian, sistem kehidupan dalam Islam mewujudkan generasi jujur. Dalam sistem kehidupan Islam, terwujudlah masyarakat bertaqwa dan jauh dari tindakan curang, termasuk dalam pendidikan.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم