Mendulang Cuan dari Kasino: Berkah atau Musibah?




Endah Sulistiowati (Direktur Muslimah Voice)

Dalam rapat kerja dengan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan di Komisi XI DPR, Kamis (8/5/2025), anggota DPR dari Fraksi Golkar, Galih Kartasasmita, mengusulkan agar Indonesia meniru negara Arab yang menjalankan kasino. Ini bertujuan untuk menambah objek baru penerimaan negara bukan pajak. 


Pembukaan kasino di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Sejarah mencatat, kasino memang pernah dibuka secara resmi di Tanah Air dan memberi keuntungan besar ke pemerintah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1967 di Jakarta. 


Saat itu, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, menghadapi tantangan pelik dalam membangun ibu kota. Banyak infrastruktur dan berbagai proyek besar belum dibangun karena ketiadaan anggaran. Atas dasar ini, Ali Sadikin harus mencari cara menambah anggaran, salah satunya, lewat legalisasi perjudian.


Koran Sinar Harapan (21 September 1967) mewartakan, kebijakan ini dilakukan agar perjudian tidak lagi dilakukan secara diam-diam. Dengan melokalisasi perjudian ke satu kawasan khusus, pemerintah berharap mendapat aliran dana dari hasil judi. Pemerintah mencatat keuntungan dari judi ilegal mencapai Rp300 juta setiap tahun. Sayang, dana sebesar itu tak mengalir ke pemerintah, melainkan ke tangan oknum-oknum yang melakukan perlindungan. 


Sejak dibuka, Kompas memberitakan, kasino di Petak Sembilan didatangi ratusan orang dari seluruh Indonesia. Mulai dari Medan, Pontianak, Bandung, hingga Makassar.  Ratusan orang tersebut sukses menghasilkan dana jutaan rupiah yang disetor setiap bulan ke pemerintah. 


Nominal Rp25 juta saat itu tergolong besar. Harga emas, menurut surat kabar Nusantara (15 Agustus 1967), mencapai Rp230 per gram. Artinya, uang Rp25 juta bisa membeli 108,7 Kg emas. 
Jika dikonversi ke masa sekarang, berarti uang Rp25 juta atau 108,7 Kg emas setara dengan Rp200-an miliar. Dengan demikian, keuntungan Pemerintah DKI Jakarta di awal legalisasi kasino mencapai miliaran rupiah per bulan. 


Itu baru di Jakarta dan pada tahun 1967. Bagaimana dengan kondisi sekarang, apalagi uangnya untuk pembangunan, apa pembangunan yang dilaksanakan bisa berkah atau malah panen musibah?


Sumber Pendapatan Negara 


Berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, di pasal 1 Ayat (9) telah dijelaskan bahwa penerimaan pendapatan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Di Indonesia, pendapatan negara dirancang dan dikelola dalam rancangan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).


Sedangkan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai tambahan nilai kekayaan bersih. Kekayaan bersih yang dimaksud ini adalah penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah, inilah yang adalah disebut juga sumber pendapatan negara. 


1. Pajak
Di Indonesia, sumber pendapatan negara yang utama berasal dari pajak. Jika dihitung dalam persentase, pajak menyumbang sekitar 80% dari total pendapatan negara. Meliputi PPH, PPN, PBB, Bea cukai, dll. 


2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Seperti namanya, Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan pendapatan yang berasal dari objek non-pajak. Menurut Undang-Undang No,9 Tahun 2018, PNBP adalah sumber pendapatan negara dari individu atau badan tertentu yang memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas pemanfaatan sumber daya. Meliputi pemanfaatan sumber daya alam, pendapatan yang dipisahkan, pendapatan badan layanan umum (BLU), pengelolaan badan milik negara, pengelolaan harta lain. 


3. Hibah 
Meskipun tergolong dalam penghasilan non-pajak, hibah terhitung sebagai penerimaan di luar PNBP. Oleh karena itu, hibah diklasifikasikan dalam kelompok berbeda dan memiliki aturan tersendiri. Di Indonesia, hibah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011. Dalam aturan tersebut, hibah diartikan sebagai penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan atau surat berharga dari dalam maupun luar negeri. Contoh dana hibah: hibah dalam negeri, hibah luar negeri, hibah daerah, dll. 


Hibah bertujuan untuk mendukung program pembangunan nasional. Contoh alokasinya adalah pada pembangunan suatu daerah yang terkena bencana atau dalam keadaan genting.


Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pemasukan utama negara. Di Indonesia, kondisinya pun demikian. Realisasi penerimaan pajak 2023 mencapai 78% dari total penerimaan negara yang sebesar Rp2.774,3 triliun (Kemenkeu, 10-1-2024). Sedangkan penerimaan dari sumber daya alam (SDA) hanya sebesar Rp223 triliun atau 8% dari total penerimaan negara.
Negara dalam sistem kapitalisme menyerahkan kekayaan SDA pada swasta lokal maupun asing dan hanya mendapat dividen yang sangat kecil. Untuk membiayai kebutuhan negara, pemerintah menggenjot penerimaan pajak. Rakyat dikejar-kejar pajak, bahkan nyaris semua aspek dalam kehidupan dipajaki. Ini dilakukan demi mencapai target penerimaan pajak yang terus naik setiap tahunnya. Miris, kekayaan alam milik rakyat diberikan pada swasta kapitalis, tetapi rakyat justru dipaksa membayar pajak dalam jumlah besar.


Dalam konteks Indonesia, harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Sebagai contoh, minyak mentah dapat meningkat nilainya hingga lebih dari 10–25 kali lipat jika diolah menjadi produk-produk industri petrokimia, seperti polyethylene yang menjadi bahan baku kemasan, botol, pipa, dan kabel. Bijih nikel (0,9–1,8 persen) seharga USD30,5 per ton, jika diolah menjadi High-Purity Nickel (99,9) seharga USD24,293, dapat meningkatkan nilainya menjadi 796 kali lipat. (Shanghai Metal Market,16-7-2023).


Menurut ekonom muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan negara dari kekayaan sumber daya alam negeri ini adalah sebagai berikut.


Pertama, minyak mentah. Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD97 per barel, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp183 triliun.
Kedua, gas alam. Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp136 triliun.


Ketiga, batu bara. Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 57,4 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp2.002 triliun.


Keempat, emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD63,5 juta per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp29 triliun.


Kelima, tembaga. Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD8.822 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp159 triliun.


Keenam, nikel. Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD2.583 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 26,6 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp189 triliun.


Ketujuh, hutan. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (2022), luas hutan di Indonesia mencapai 120,26 juta hektar. Menurut perhitungan Prof. Dr. Ing. Amhar (2010), dengan asumsi luas hutan 100 juta hektar dan untuk menjaga kelestariannya dengan siklus 20 tahun, maka hanya 5 persen dari tanaman yang dipanen setiap tahunnya. Jika dalam 1 hektar hutan setidaknya terdapat 400 pohon, artinya hanya 20 pohon per hektar yang ditebang setiap tahunnya. Jika nilai pasar kayu dari pohon berusia 20 tahun adalah Rp2 juta dan keuntungan bersihnya Rp1 juta, nilai ekonomis dari hutan tersebut adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp1 juta per pohon = Rp2.000 triliun. Namun, dengan mempertimbangkan deforestasi dan illegal logging, ia memperkirakan bahwa Rp1.000 triliun dapat diperoleh setiap tahunnya (fahmiamhar[dot]com, Mencoba Meramu APBN Syariah).


Kedelapan, kelautan. Dengan luas wilayah Indonesia yang 75 persen merupakan laut, potensi ekonomi berbasis sektor kelautan (blue economy) sangat besar. Beberapa sumber pendapatan kelautan dan perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, serta industri, dan jasa maritim. Potensi pendapatan juga diperoleh dari energi dan mineral, pariwisata bahari, transportasi laut, dan coastal forestry. Kepala Bappenas memperkirakan nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru akan mencapai US$30 triliun pada 2030. 


Menurut perhitungan Dahuri (2018) sumber-sumber tersebut dapat menghasilkan pendapatan per tahun sebesar USD1,33 triliun per tahun. Nilai itu setara dengan Rp20.795 triliun dengan kurs Rp15.600/USD. Jika 10 persen dari potensi itu dapat dikelola oleh perusahaan negara, potensi penerimaannya mencapai Rp2.079 triliun. Jika diasumsikan harga pokok produksi mencapai 50 persen, laba dari sektor kelautan yang masuk ke APBN mencapai sekitar Rp.1.040 triliun.


Berdasarkan perhitungan atas beberapa sumber penerimaan APBN di atas, maka potensi pendapatan dari delapan harta milik umum saja (batu bara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan, dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun). Sesungguhnya masih ada 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Dengan itu tentu negara tidak perlu memungut pajak dari rakyat ataupun berutang ke luar negeri. Syaratnya hanya satu, yakni semua itu harus dikelola berdasarkan ketentuan syariat Islam. (Lihat: Muis, Al-Waie, Edisi Maret 2024).


Sehingga untuk menaikkan pendapatan tidak perlu membuka kasino yang jelas-jelas hukumnya haram. Allah Ta’ala berfirman:


إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90).


Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala menggandengkan judi atau qimar dengan khamr, al anshab dan al azlam. Ini adalah perkara-perkara yang tidak diragukan lagi keharamannya. Oleh karena itu ini menjadi dalil haramnya judi.


Allah Ta’ala menjelaskan bahwa judi adalah amalan setan dalam firmannya (yang artinya) : “…(judi) adalah termasuk perbuatan syaitan“. Dan semua amalan yang merupakan amalan setan, hukumnya haram. Karena setan itu sangat bersemangat untuk menyesatkan manusia dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan.


Sehingga dari penjelasan QS. Al Maidah ayat 90 telah jelas bahwa tidak layak kasino ada di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Bagaimana mungkin kesejahteraan hakiki akan diraih, padahal kita tahu dan paham bahwa hal kasino atau perjudian diharamkan dalam Islam. 


Strategi Menaikkan Pendapatan Negara Tanpa Kasino


Sudah waktunya negara mengambil alih seluruh SDA yang ada. Mengelolanya sendiri tanpa harus melibatkan asing dan aseng, sehingga seluruh pendapatan dari pengelola SDA bisa digunakan untuk menambah pendapatan negara. 


Sebagaimana Islam pernah menjalankan sebuah sistem pemerintahan Khilafah yang mengelola SDA dengan mandiri untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu bukti bahwa Islam adalah agama yang sempurna yang menjelaskan segala hal, ialah adanya ketetapan dan pengaturan terkait APBN atau dikenal dengan istilah baitulmal. Tentu ada perbedaan APBN konvensional dalam sistem kapitalisme dengan APBN Islam.


Perbedaan yang prinsip adalah menyangkut sumber-sumber utama pendapatannya maupun alokasi pembelanjaannya yang seluruh pos pendapatan dan pengeluaran baitulmal (APBN Khilafah) telah ditetapkan oleh Islam. Sumber pendapatan dan pengeluarannya tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Prinsip utama ini harus sesuai syariat Islam dan memberikan kemaslahatan yang optimal bagi agama dan rakyat.


Khalifah sebagai kepala negara berwenang untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran dengan berpegang teguh pada ketetapan Islam. Khalifah tidak boleh menjadikan pajak sebagai salah satu pos vital pendapatan belanja negara. Khalifah juga tidak boleh menempatkan semua bentuk kegiatan yang bertentangan dengan Islam pada pos pengeluaran dan pos pendapatan.


Adapun sumber pendapatan APBN Khilafah, di antaranya ialah anfal, ganimah, fai, dan khumus. Anfal dan ganimah maknanya sama, yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang. Harta tersebut bisa berupa uang, senjata, barang dagangan, bahan pangan, dan lain-lain.


Harta fai adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir (harbi) dengan tanpa pengerahan pasukan juga tanpa kesulitan serta tanpa melakukan peperangan. Kondisi ini terjadi ketika kaum kafir takut kepada kaum muslim sehingga mereka meninggalkan kampung halaman dan harta benda mereka.


Sedangkan harta khumus adalah 1/5 bagian yang diambil dari ganimah. Khumus pada masa Rasulullah saw. dibagi menjadi lima bagian, yaitu satu bagian untuk Allah dan Rasul-Nya; satu bagian untuk kerabat Rasul; dan tiga bagian untuk anak yatim, orang miskin, dan ibnusabil.


Selanjutnya, ada harta kharaj, merupakan hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dan menjadi bagian ganimah dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai. Kharaj dibagi dua, yakni kharaj unwah (paksaan) dan kharaj zulhi (damai). Kharaj diambil setiap tahun sekali.


Lalu harta jizyah, hak yang Allah berikan kepada kaum muslim dari kaum kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jika kaum kafir ini telah memberikan jizyahnya, wajib bagi kaum muslim melindungi jiwa dan harta mereka.


Sementara itu, harta milik umum di antaranya adalah sektor energi, pertambangan, hasil laut, dan hasil hutan. Harta milik negara bermakna setiap jengkal tanah dan bangunan yang terkait dengan negara atau hak seluruh kaum muslim, jika bukan termasuk kepemilikan umum, berarti tergolong milik negara. Kepemilikan negara berbeda dengan kepemilikan umum sekalipun negara mengelola keduanya.


Lalu harta usyur, merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta dan perdagangan ahli zimi dan penduduk dar harbi yang melewati perbatasan Khilafah. Besarnya usyur merupakan wewenang khalifah.


Selanjutnya, harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya (harta ghulul), adalah harta yang diperoleh oleh para wali, amil, dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i. Harta ini haram dan bukan miliknya sehingga mereka wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya jika diketahui. Namun jika tidak diketahui, harta itu disita dan diserahkan kepada baitulmal.


Yang termasuk harta ghulul adalah suap, hadiah atau hibah, harta kekayaan yang diperoleh dengan sewenang-wenang dan tekanan kekuasaan, hasil makelar dan komisi, juga korupsi. Termasuk harta yang diperoleh melalui riba dan judi. Alhasil, harta ini adalah harta haram yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Jika tidak diketahui pemiliknya, harta tersebut disita dan dimasukkan dalam baitulmal. Sedangkan denda yang dijatuhkan oleh negara kepada orang-orang yang melakukan perbuatan dosa atau pelanggaran undang-undang, dimasukkan ke baitulmal.


Harta khumus ialahbarang temuan dan barang tambang, rikaz, atau barang temuan yang terkubur di dalam tanah dan barang tambang yang jumlah depositnya sedikit. Atasnya dikenakan khumus 20% yang disetorkan ke baitulmal.


Harta yang tidak ada ahli warisnya, setiap harta bergerak maupun tidak bergerak yang pemiliknya telah meninggal dunia dan tidak ada ahli warisnya, berdasarkan hukum faraid (waris), harta tersebut dimasukkan ke dalam baitulmal.


Lalu harta orang-orang murtad. Murtad adalah keluar dari agama Islam, kembali kepada kekufuran. Darah dan harta orang murtad menjadi halal apabila dalam waktu tiga hari seorang yang murtad itu tidak bertobat dan kembali kepada Islam, kepadanya akan dijatuhi hukuman mati dan hartanya diambil untuk disimpan di baitulmal.


Pajak atau dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh Allah Swt. kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi di baitulmal tidak ada uang atau harta.


Sedekah yang menjadi sumber pemasukan baitulmal adalah zakat. Zakat merupakan sejumlah nilai atau ukuran tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta yang jenisnya tertentu pula. Zakat hanya wajib bagi kaum muslim, selain mereka tidak diambil.


Allah Subhanahu wa Ta'ala telah merancang APBN Khilafah (baitulmal) untuk mewujudkan keadilan ekonomi, pemerataan kekayaan, dan kesejahteraan rakyat, sambil memperkuat negara secara keseluruhan. Dengan diterapkannya APBN Khilafah maka kebutuhan dasar rakyat akan terpenuhi dari zakat dan pendapatan dari SDA tanpa harus menguras dompet mereka.


Selain itu, terjadi redistribusi kekayaan yang adil melalui zakat dan pengelolaan kepemilikan umum. Kekayaan tidak hanya berputar di tangan segelintir orang, tetapi didistribusikan untuk kepentingan umat. Dengan keuangan negara yang stabil tanpa utang luar negeri dan rakyat yang kebutuhannya telah terpenuhi, negara tentu menjadi lebih kuat secara ekonomi dan politik.


Dengan demikian, hanya Khilafah beserta syariat yang diterapkan secara kafah yang dapat mewujudkan kehidupan makmur dan sejahtera bagi rakyatnya. Menjadi kewajiban seluruh kaum muslim untuk berjuang menegakkannya kembali. Kesejahteraan hidup di bawah naungan Khilafah pada akhir zaman telah diberitakan Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya.” (HR Muslim). Wallahualam bissawab.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama