Oleh: Endang Setyowati
Pendidikan merupakan komponen penting, yang bertujuan untuk menggali dan memanfaatkan potensi keunikan tiap individu serta membantu memperkuat bangsa di era globalisasi saat ini. Sehingga dapat membangun bangsa yang maju, sejahtera dan bermartabat.
Namun bagaimana kenyataannya tatkala di negeri ini, yang katanya subur makmur loh jinawi namun masih sukar untuk mengakses pendidikan.
Keterbatasan akses pendidikan ini ternyata telah lama menjadi (PR) pekerjaan rumah yang belum juga terselesaikan.
Seperti dikutip oleh Beritasatu.com, (02/5/2025), data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP).
Temuan ini menjadi cerminan bahwa Pendidikan Indonesia masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama, dan banyak penduduk belum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2023 (9,13 tahun), capaian ini baru sedikit melampaui target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang ditetapkan sebesar 9,18 tahun.
"Rata-rata penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun telah menempuh pendidikan selama 9,22 tahun atau lulus kelas 9 SMP atau sederajat," ujar Amalia, dikutip dari YouTube TVR Parlemen, Jumat (2/5/2025).
Berdasarkan BPS pada tahun 2024, mayoritas penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang memiliki ijazah SMA atau sederajat sekitar 30,85%. Sementara itu hanya 10,2% penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Namun sebenarnya pemerintah saat ini telah berupaya untuk memberikan pelayanan pendidikan yang merata dengan memberikan Kartu Indonesia Pintar(KIP) bagi pelajar maupun yang kuliah. Dan juga bantuan sosial bahkan ada program sekolah gratis.
Nyatanya upaya tersebut belum bisa mengatasi kesenjangan dan ketimpangan pendidikan yang ada di negeri ini. Karena realitanya belum semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan apalagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya terbatas. Belum lagi keberadaan layanan pendidikan yang belum tersedia secara merata.
Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya tentang keterbatasan karena sarana dan fasilitas pendidikan yang sudah tidak layak untuk digunakan. Bangunan yang telah rusak, bahkan ada ruang kelas yang telah bocor dan juga meja kursi tak layak pakai lagi.
Kemudian keterbatasan akses pendidikan karena infrastruktur yang tidak layak. Keadaan ini biasanya dialami oleh daerah yang berada di wilayah terpencil dan tertinggal. Sehingga infrastruktur publik serba terbatas menjadikan rakyat kesulitan mengakses fasilitas pendidikan yang jauh dari rumah.
Bahkan ada yang mempertaruhkan nyawa dengan cara bergelantungan di tali menyeberangi sungai yang dalam serta luas. Belum lagi ketika mereka berjalan di atas jalan-jalan yang rusak bahkan ada yang sama sekali tidak beraspal, serta medan yang sulit. Hal inilah yang kerap menjadikan anak-anak akhirnya tidak melanjutkan sekolahnya.
Yang tidak kalah pentingnya terhadap keterbatasan akses pendidikan ini adalah dalam bidang ekonomi. Bagaimanapun nyatanya ketika dalam keadaan ekonomi yang sulit(miskin) maka akan sukar untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Selain biaya pendidikan yang makin mahal ternyata banyak juga yang memilih berhenti sekolah karena ingin membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Di era sekarang bahkan ada narasi yang muncul "Pendidikan ibarat barang mahal, sehingga orang miskin dilarang sekolah". Karena kita tahu bersama bahwasanya sekolah yang mahal maka akan tersedia berbagai fasilitas yang mendukung. Berbeda tatkala bersekolah pada sekolah yang biasa(negeri namun tidak favorit) maka akan minim fasilitasnya.
Belum lagi ketika ada kebijakan yang berganti, dengan tradisinya "ganti menteri, ganti kurikulum." Sehingga belum benar-benar menguasai kurikulum yang berjalan, harus ganti kurikulum baru karena ganti menteri.
Beginilah wajah ketika pendidikan di swastanisasi, negara hadir hanya sebagai regulator saja akhirnya biaya mahal, adanya ketimpangan akses dan kurikulum yang sering berganti, serta banyaknya sekolah kejuruan menjadikan pendidikan hanya untuk mencetak tenaga kerja murah.
Berbeda ketika di dalam sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah, maka pendidikan adalah hak setiap warga. Tidak memandang kaya maupun miskin, jadi negara harus memastikan hak pendidikan ini didapat oleh seluruh warganya.
Dalam Khilafah, pendidikan memiliki karakteristik yang didasarkan pada prinsip ajaran Islam, bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam pada peserta didik. Sehingga terbentuklah pola pikir dan pola sikap Islami, dengan demikian akan melahirkan generasi yang berkualitas dari sisi kekuatan iman dan kemampuan akademik yang cerdas, memadukan iman, taqwa dan ilmu pengetahuan serta ketrampilan yang tinggi dalam satu paket lengkap kurikulum berasaskan akidah Islam.
Negara juga akan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang pendidikan tersebut seperti perpustakaan, laboratorium untuk penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Dan semua itu disediakan dengan biaya murah bahkan gratis. Tidak ada lagi sekolah favorit karena semua fasilitas sama.
Dan negara akan membangun infrastruktur publik yang merata di seluruh negeri, sehingga semua warga bisa mengaksesnya dengan mudah.
Itu semua bisa terlaksana karena pembiayaan berasal dari baitul mal, khususnya pos fa'i, kharaj, dan pemilikan umum.
Pemilikan umum bisa berasal dari seluruh sumber daya alam yang ada, akan dikelola oleh negara dan hasil sepenuhnya akan diberikan kepada seluruh warga. Sehingga tidak akan ada alasan ketika tidak sekolah karena terbentur dengan biaya pendidikan.
Negara benar-benar hadir untuk meriayah seluruh warganya agar terpenuhi hak pendidikannya. Sehingga terciptalah generasi yang bertaqwa, cerdas dan bermanfaat ilmunya bagi kemaslahatan manusia.