Danantara dan Risiko-Risiko yang Menghantuinya




Oleh: Rahmawati Ayu Kartini (Pemerhati Sosial)

Daya Anagata Nusantara (Danantara), adalah Badan Pengelola Investasi yang dibentuk Presiden Prabowo untuk mengoptimalkan aset negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Badan ini semacam super _holding_ (kepemilikan saham pengendali) yang menaungi sejumlah BUMN dan _holding_ BUMN.

Danantara mengadopsi model Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti Temasek (Singapura) dan Khazanah (Malaysia) yang menjadi perusahaan _holding_ atas sejumlah perusahaan. SWF adalah instrumen investasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh pemerintah untuk mengelola pendapatan negara. Misalnya dari surplus penjualan SDA seperti minyak mentah. Dana itu akan diinvestasikan untuk mendapatkan pendapatan yang nantinya digunakan untuk menjaga kestabilan ekonomi ketika terjadi penurunan pendapatan. Misalnya ketika harga minyak turun. 

Dikutip dari majalah Al Waie edisi April 2025, berikut ini beberapa risiko yang menghantui Danantara:

Risiko Korupsi

Kekhawatiran terbesar dari terbentuknya Danantara adalah lemahnya pengawasan dan akuntabilitas. UU No. I/2025 secara kontroversi membatasi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK tidak dapat lagi melakukan audit keuangan dan kinerja terhadap Danantara, sebagaimana dapat dilakukan pada BUMN sebelumnya. Peran BPK kini terbatas pada Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Itupun hanya bisa dilakukan atas permintaan DPR.
Bahkan yang menjadi Ketua Tim Pakar dan Inisiator Danantara adalah Burhanudin Abdullah, mantan koruptor aliran dana BI yang pernah divonis 5 tahun penjara dan menjadi penghuni Lapas Sukamiskin (_viva.co.id_).

Dengan pengawasan BPK yang kuat saja, kasus korupsinya Jiwasraya, Asabri, Taspen, serta korupsi BBM di Pertamina tetap terjadi dan pada akhirnya terungkap lewat audit lembaga itu. Apalagi jika tanpa pengawasan ketat BPK. 

Risiko Intervensi Politik

Kekhawatiran selanjutnya adalah terhadap independensi dan transparansi Danantara. Hal ini karena badan itu diisi oleh figur yang dekat dengan Presiden Prabowo, seperti Erick Thohir sebagai Dewan Pengawas dan Rosan Roeslani sebagai Ketua Badan Pelaksana, yang sebelumnya menjadi ketua tim sukses Prabowo-Gibran.

Struktur kepemimpinan ini menimbulkan kekhawatiran akan intervensi politik dalam pengambilan keputusan investasi, berpotensi menyebabkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Kasus korupsi SWF Khazanah di Malaysia yang menyeret Perdana Menteri Najib Razak menjadi contoh bagaimana investasi negara dapat dikorupsi untuk kepentingan pribadi dan politik.

Bukan hanya risiko intervensi politik dalam negeri. Adanya Tony Blair, mantan PM Inggris yang ditunjuk sebagai pengawas Danantara dari luar negeri, makin menghantui kita jika Danantara dikendalikan dan disalahgunakan oleh elit kapitalisme global. Padahal kapitalisme tidak mungkin memberi kita 'makan siang gratis'. Pasti ada tujuan tertentu dari apa yang mereka lakukan.

Risiko Privatisasi

Risiko lain yang berpotensi terjadi pada Danantara adalah peluang privatisasi makin mudah. Dengan dibuatnya UU BUMN yang baru secara tegas memisahkan status kekayaan BUMN dari kekayaan negara. Pasal 94A huruf b mengecualikan BUMN dari ketentuan perundang-undangan terkait keuangan negara, perbendaharaan negara dan PNBP. Pemisahan ini membuka jalan bagi privatisasi BUMN tanpa kontrol publik yang memadai.

Maka privatisasi BUMN akan makin mudah, terutama bagi BUMN yang tidak sehat dan membebani kerja Danantara. Tentu ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi BUMN di sektor vital seperti energi, telekomunikasi, dan pertambangan.

UU memang membatasi privatisasi hanya pada BUMN yang kompetitif dan tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. Namun, definisi "hajat hidup orang banyak" tidak didefinisikan secara jelas. Ini bisa menjadi peluang interpretasi yang merugikan negara.

Risiko Kerugian

Risiko kerugian akibat investasi di sektor non riil juga menghantui Danantara. Danantara berencana mengalokasikan sebagian aset untuk investasi di sektor riil dan portofolio, yang menghadapi berbagai risiko  pasar. Fluktuasi nilai tukar, kenaikan suku bunga, dan perubahan harga komoditas dapat berpengaruh pada nilai investasi dan pendapatan.

Investasi berisiko tinggi seperti hilirisasi atau energi terbarukan memang strategis, tapi juga sangat rentan terhadap volatilitas (naik turunnya harga saham) pasar. Tanpa manajemen risiko yang canggih dan diversifikasi yang tepat, Danantara berpotensi mengalami kerugian besar.

Risiko Sistemik

Karena konsentrasi aset terlalu besar di satu lembaga, ini menciptakan risiko sistemik. Jika Danantara mengalami kesulitan keuangan, dampaknya meluas ke sektor perbankan, termasuk potensi _rush_ di bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Selain itu, jika Danantara terlalu agresif berinvestasi atau mengambil utang berlebihan untuk sektor berisiko seperti pasar modal, bisa terjadi kerugian besar yang memaksa penjualan aset secara cepat untuk memenuhi kewajiban finansialnya. Alternatifnya, pemerintah harus memberikan _bailout_ kepada badan itu dalam jumlah besar. Akibatnya belanja publik akan berkurang atau utang negara akan bertambah.

Risiko Penurunan Kontribusi BUMN untuk Publik

Alokasi pendapatan Danantara yang sepenuhnya dikendalikan oleh Badan Pengelola dan Badan Pengawas menyebabkan berkurangnya intervensi langsung pemerintah terhadap BUMN untuk kemaslahatan publik. Risikonya, investasi Danantara lebih banyak mengalir ke sektor yang menghasilkan keuntungan besar dalam jangka pendek. Sementara sektor yang tidak langsung menguntungkan tapi penting untuk masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur non komersial, subsidi BBM di wilayah terpencil, atau jaringan listrik terjangkau, terabaikan.

Selain itu, dividen BUMN yang sebelumnya masuk ke APBN kini sepenuhnya dikontrol oleh Badan Pengelola Danantara, yang dapat mengurangi pemasukan negara dan mengurangi manfaat langsung bagi rakyat.

Danantara dalam Perspektif Islam

Danantara sebagai super _holding_ BUMN dengan model Sovereign Wealth Fund, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam dalam beberapa aspek, yaitu:

1) Pendirian Danantara sama sekali tidak merujuk pada Islam sebagai dasar pembentukan, operasional, dan investasinya;

2) Investasi di sektor keuangan seperti perbankan ribawi dan pasar modal adalah transaksi batil;

3) Pemisahan status kekayaan BUMN dari kekayaan negara jika memudahkan privatisasi harta milik umum, bertentangan dengan Islam yang mengharamkan privatisasi untuk kepemilikan umum;

4) Pembiaran badan itu atas penguasaan kekayaan milik umum seperti SDA seperti migas, batubara, emas, dan nikel oleh swasta adalah kemungkaran.

Pengelolaan ekonomi dalam sistem kapitalisme akan selalu bermasalah. Karena Kapitalisme yang menjadi landasan Danantara tidak merujuk pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, penerapan Islam secara paripurna adalah satu-satunya pilihan agar pengelolaan harta negara ini diberkahi dan mewujudkan maslahat bagi rakyat.

Wallahu a'lam bishowab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم