Serbuan Ayam Impor Brazil VS Peternak Ayam Lokal

 


Penulis : Hindawati (Aktivis Muslimah)


Muslimahvoice.com - Sungguh miris kondisi Perdagangan dalam negeri, Industri perunggasan dalam negeri harus menelan pil pahit kekalahan Indonesia dari gugatan Brasil soal impor ayam. Keputusan tersebut diketuk WTO pada 10 Juli 2019. Penyebabnya bukan karena kekurangan stok di dalam negeri, melainkan ada kewajiban dari Indonesia untuk memenuhi tuntutan setelah kalah gugatan dari Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 


Persoalan ini bermula ketika Indonesia sempat kalah dari gugatan Brasil yang didaftarkan ke WTO pada 2014 lalu. Di dalam gugatan itu, Brasil mengeluhkan penerapan aturan tak tertulis oleh Indonesia yang dianggap menghambat ekspor ayam Brasil ke Indonesia sejak 2009 silam.


Tiga tahun berikutnya, Indonesia diputuskan bersalah karena tidak mematuhi empat ketentuan WTO. Pertama, yakni daftar impor Indonesia disebut tidak sesuai dengan Artikel XI dan XX GATT 1994.


Kedua, persyaratan penggunaan produk impor tidak konsisten dengan Artikel XI dan Artikel XX. Ketiga, prosedur perizinan impor, utamanya dalam hal pembatasan periode jendela permohonan dan persyaratan pencantuman tetap data jenis, jumlah produk, dan pelabuhan masuk, serta asal negara tidak konsisten dengan Artikel X dan XX.


Keempat, penundaan proses persetujuan sertifikat kesehatan veteriner melanggar Article 8 dan Annex C (1) (a) SPS agreement. (cnbcindonesia.com, 12/04/2021).


Dari kekalahan Indonesia atas gugatan Brasil di WTO, maka perunggasan dalam negeri harus bersiap diri menghadapi serangan impor ayam murah brasil ke Indonesia.


Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Syailendra sudah mengingatkan bahwa serangan impor itu tidak mengada-ada. Karenanya, peternak harus bisa menekan harga ayam dengan mengefisiensi harga pakan ternak. (cnbcindonesia.com, 12/04/2021).


Kondisi ini sangat pelik, sebab daya saing industri perunggasan Indonesia sangat lemah. Harga daging yang tinggi dipicu dari pakan yang tinggi jadi sebabnya.


 Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J. Supit mengatakan, dari segi harga produksi ayam ras lokal memang lebih mahal dibanding ayam ras impor Brasil. "Hal ini karena kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan) justru membuat produk ayam kita tidak efisien," katanya saat dihubungi kumparan, Kamis (8/8).


Dia menjelaskan, harga pokok produksi ayam Brasil hanya 50 persen dari ayam produksi Indonesia. Dengan perkiraan harga pokok produksi (HPP) ayam peternak mandiri yang berkisar pada Rp 18.000 per kg, HPP ayam Brasil hanya berkisar Rp 9.000 hingga Rp 10.000 per kg. Dia menambahkan, meski impor daging ayam dari Brasil masih harus dikenai bea masuk sebesar 5 persen di Indonesia dan ditambah ongkos logistik pengiriman, harga jual daging ayam impor asal Brasil masih lebih murah daripada daging ayam lokal.


Menurutnya, kondisi ayam impor yang lebih murah ini sangat wajar terjadi mengingat harga pakan ternak di Brasil cenderung stabil karena pasokan jagung yang terjamin. Sedangkan di Indonesia, harga jagung ketika panen saja masih cenderung tinggi.


"Kalau di kita, 70 persen komponen penyusun HPP ayam berasal dari pakan. Dari jumlah itu, sekitar 50 persen disumbangkan oleh jagung sementara sisanya campuran lain seperti bungkil kedelai. Pertahanan yang paling kuat adalah daya saing yang harus tinggi, kalau dari bahan baku sudah tidak efisien, pasti akan kalah bersaing," tutupnya.


Selain itu situasi pasar daging ayam Indonesia akan memburuk jika daging ayam dan ayam utuh impor benar-benar masuk ke Indonesia pada 2021 mendatang. Saat ini, Indonesia sedang menghadapi persoalan kelebihan pasokan daging ayam.


Masalahnya, menurut Alvino ketika terjadi kelebihan pasokan, tak seluruh daging ayam tersebut terserap. Untuk mengatasi hal tersebut, sebenarnya pemerintah sudah memberikan solusi yaitu dengan mewajibkan perusahaan unggas, terutama yang besar-besar untuk memiliki rumah potong hewan (RPHU) dan fasilitas rantai dingin sebagai penampung karkas (daging) produksi internalnya.


“Tapi pemerintah lalai dalam melakukan pengawasan, sementara integrator ada aja alasannya, kata mereka izinnya berbelit-belit,” kata Alvino. “Karena integrator tidak memiliki RPHU maupun cold storage, ketika panen dan kelebihan dia jual juga ke pasar-pasar becek, makanya harga ayam kebanting.”


Sungguh ironi melihat permasalahan ekonomi yang terjadi di negeri ini, bagaimana tidak negara berkiblat pada kebijakan barat, padahal sudah jelas rakyatnya banyak dirugikan. Selama aturan kapitalis liberal dijalankan maka banyak kekacauan yang terjadi, seharusnya pemerintah selaku pengurus rakyat bisa dijadikan perisai dari masalah yang ada namun itu hanya isapan jempol belaka, justru yang terjadi rakyatlah yang menanggung bebannya.


Islam sebagai tata aturan kehidupan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw, memiliki konsep pengurusan urusan masyarakat (riayatusy syu’unil ummah) yang sangat memadai. Namun tentu saja, sistem ketatanegaraan Islam ini hanya dapat diterapkan dalam negara pelaksana sistem Islam kafah, Khilafah Islamiah.


Peliknya persoalan perunggasan, dapat disolusi oleh Khilafah secara tuntas, Karena merupakan sebuah ideologi, Islam memosisikan sektor peternakan sebagai bagian dari tanggung jawab kepemimpinan seorang penguasa. Tersebab hal ini, segala kebutuhan penunjang produksi ternak beserta hasil ternak dari hulu hingga ke hilir, akan diberi fasilitas dengan sebaik-baiknya.


Negara Khilafah benar-benar menunaikan mandatnya selaku khadimul ummah (pelayan umat) dengan melaksanakan sabda Rasulullah saw : “Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari).


Dari aspek kebutuhan daging ayam dalam negeri, Khilafah menempatkan impor pada sifatnya yang tidak permanen. Tapi upaya Khilafah untuk memberdayakan peternakan di dalam negeri justru lebih diutamakan sehingga swasembada daging ayam terealisasi. Dan bukan tidak mungkin, sumber daya peternakan Khilafah juga mampu memenuhi kebutuhan daging ayam hingga ke luar negeri.


Penting sekali adanya perubahan paradigma tata kelola sumber daya peternakan, khususnya persoalan daging ini. Yang tadinya kapitalis, menjadi paradigma Islam. Agar impor daging tak melulu menjadi alasan pemenuhan meningkatnya permintaan pasar. Aspek riayatusy syu’unil ummah harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Agar daging sebagai komoditas pangan strategis dapat diposisikan secara tepat, dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi tanggung jawab kepemimpinan seorang penguasa.

Waallahu'alam Bishowwab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama