PENGENTASAN PANDEMIK COVID-19: BUTUH KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG TEGAS BUKAN PLIN PLAN

 



Muslimahvoice.com - Lebaran iedul fitri kurang dari dua pekan lagi, pusat-pusat perbelanjaan sudah diserbu masyarakat, berdesak-desakan tanpa jaga jarak seolah-olah virus Covid-19 sudah tidak ada dan bebas dari suasana pandemik. Hal ini terjadi tidak hanya di Pusat Perbelanjaan Tanah Abang, yang memang merupakan Pusat perbelanjaan terbesar se Asia Tenggara, tapi terjadi juga terjadi hampir di seluruh pasar baik kota, kabupaten, bahkan kecamatan. 


Masyarakat lupa, lengah dan tidak menyadari kalo virus yang menyebabkan COVID-19 ini terutama ditransmisikan melalui droplet (percikan air liur) yang dihasilkan saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau mengembuskan nafas. Sehingga berdesak-desakan tanpa jaga jarak sangat berpotensi besar dalam penyebaran virus. Berdasarkan informasi dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, hingga saat ini masih adanya penderita baru covid-19 dalam jumlah yang signifikan. Secara keseluruhan per tanggal 5 Mei 2021, sebaran data covid-19 di Indonesia adalah sebagai berikut : positif 1.691.658; sembuh 1.547.092 dan meninggal 46.349. Indonesia wajib belajar dari India yang mengalami gelombang kedua serangan pandemik Covid-19 dan pada kondisi tersebut India terpuruk dan gagal menjaga stabilitas kesehatan masyarakatnya.  


Pengentasan pandemik covid-19 ini butuh kebijakan dari pemerintah yang tegas bukan plin plan. Kebingungan Pemerintah terlihat pada pengambilan kebijakan tentang mudik. Tarik ulur batas waktu dibolehkan dan tidak dibolehkannya mudik menunjukan tidak tegasnya pemerintah, ditambah dengan seolah-olah terjadinya pembiaran pusat-pusat perbelanjaan yang menerima pengunjung di luar kapasitasnya. Pengentasan pandemik pun tidak bisa hanya mengandalkan pada kesadaran masyarakat. Justru peran Penguasa sebagai Rois/Pemimpin yang berkewaiban melaksanakan riayatul suunil ummah termasuk dalam hal ini adalah menjaga kesehatan masyarakat. Alih-alih hal itu dimaksimalkan, malah wacana pemindahan Ibu Kota negara ke Kalimantan kembali mencuat dan dibahas. Padahal proses pemindahan ibu kota ini akan membutuhkan biaya yang sangat besar yang seyogyanya diprioritaskan untuk menjaga stabilitas dan pemulihan kesehatan masyarakat selama pandemik dan pasca pandemik. 


Kejadian pandemik sebenarnya pernah terjadi juga di masa Kekhalifahan Umar Bin Khatab, dan kita dapat bercermin dan mengambil hikmah pelajaran dari Tokoh Besar Sahabat Rasulullah ini. Betapa kebijakan yang diambilnya sangat tegas dalam menghadapi pandemik, sehingga pandemik tidak terjadi berlarut-larut dan menyengsarakan rakyat. Menyitir dari jurnal yang ditulis oleh Masykur Rozi (2020) yang berjudul “ Siyasah Pandemic Umar Bin Khatab”, dinyatakan bahwa  selama kehidupan umat Islam sebelum terjadinya wabah Maut Hitam (Black Death) telah mengalami lima kali pandemi hebat, yakni wabah Syirawaih (6 H/627-628 M), wabah ‘Amwas (sekitar 17 H/ 638 M atau 18 H/639 M), wabah al-Jarif atau Violet Plague (69-70 H/ 688-689 M), wabah Fatayat (87 H/706 M), dan wabah al-Asyraf (716-718 M). Dan yang memberikan pengaruh paling signifikan dalam tatanan sosial, hukum dan politik adalah wabah yang kedua, yakni wabah ‘Amwas, karena diikuti dengan beberpa episode riwayat yang dijadikan rujukan dalam menentukan sikap menghadapi wabah. Wabah ‘Amwas terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab saat penaklukan Islam ke wilayah Syam yang masih menjadi bagian kekuasaan Bizantium (Romawi Timur). Disebut demikian sebab wabah terjadi saat pasukan muslimin pimpinan Abu Ubaidah bin Jarrah bin al-Jarrah terserang penyakit tersebut di daerah Emmaus (Arab: ‘Imwas/’Amwas). Landasan nilai dan politik kesehatan yang Umar cetuskan mengenai wabah Amwas sangat tegas jelas dan ampuh dan hal ini terbukti dengan tidak berlangsung lamanya wabah dan korban yang ditimbulkan dapat diminimalisir secara signifikan. Wallahu alam. 


Mamay Maslahat, S.Si., M.Si.

Dosen PTS di Bogor


*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم