The Trully Normal Life



Oleh: Kholila Ulin Ni'ma, M.Pd.I

Kebijakan new normal life masih menjadi pro-kontra. Kebijakan yang diharapkan bisa menyelamatkan ekonomi ini nyatanya tak memberikan solusi. Penerapan new normal justru membawa bencana. Sudahlah ekonomi tetap terpuruk, berbagai negara harus mengalami gelombang kedua korban corona. Berkaca pada Korea Selatan yang tergolong baik fasilitas kesehatan dan kesadaran masyarakatnya saja, muncul gelombang kedua. Bagaimana dengan Indonesia yang sejak awal minim mitigasinya?

/New Normal Kebijakan Zalim!/

Laman cnbcindonesia.com mengabarkan jumlah pasien COVID-19 di Indonesia melonjak hampir 70% saat masa transisi menuju new normal. (23/06/2020) Berbagai negara juga mengalami hal serupa. Namun, agenda barat ini tetap ngotot diterapkan.

Makhluk kecil bernama corona ini benar-benar menampakkan jahatnya kapitalisme sekular. Berbagai kebijakan diambil hanya dengan pertimbangan uang dan pertumbuhan ekonomi. Tak peduli nyawa menjadi taruhan. Situs www.un.org menuliskan dalam artikel yang berjudul "New Normal: UN Lays Out Roadmap Lift Economies and Save Jobs after Covid-19" bahwa new normal adalah agenda PBB untuk menyelamatkan ekonomi. Artinya ini adalah kebijakan ekonomi, bukan kesehatan. Dan, ekonomi siapa yang mereka maksud kalau bukan para korporat global? Setidaknya ada dua keuntungan jika new normal diterapkan. Pertama, keuntungan bagi para korporasi sebab bisnis mereka yang nyaris kolaps bisa berjalan lagi. Kedua, keuntungan bagi rezim karena tidak perlu menanggung hajat hidup masyarakat selama masa lockdown ataupun PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Padahal, sudah menjadi kewajiban negara menanggung kebutuhan hidup rakyat, apalagi di masa pandemi. Sebaliknya, justru rakyat dibiarkan mengais rejeki di tengah ancaman wabah.

Lebih jahatnya lagi, kondisi wabah justru dijadikan ladang dalam mencari keuntungan. Pemerintah Amerika Serikat (AS) misalnya, telah memborong pasokan obat remdesivir untuk pasien Covid-19. Baru-baru ini uji klinis menunjukkan obat tersebut membantu mempersingkat waktu pemulihan bagi orang yang sakit parah. Bbc.com mengabarkan satu paket obat itu dibanderol sekitar Rp45 juta. Itu artinya, satu ampul dibanderol Rp7,5 juta. Sampai-sampai seorang anggota DPR AS menyebut "harganya keterlaluan". (bbc.com, 1/7/2020) Di Indonesia sendiri, rapid tes dan swab juga dikomersialkan. Harga tes corona ini mencapai harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

/Sistem Gagap dan Gagal/

Di sisi lain, virus ini sekaligus menunjukkan betapa gagap dan gagalnya ideologi kapitalisme sekular dalam mengatasi pandemi. Bahkan negara adidaya sekelas Amerika pun tak berdaya menghadapi makhluk kecil yang tak kasat mata ini. Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) wilayah Eropa, Dr. Hans Henri P Kluge berpesan. Jika negara tidak memiliki kesiapsiagaan masyarakat, pemerintah yang cepat merespos, tenaga kesehatan yang terlatih-terlindungi, dan tidak ada informasi untuk warga yang berbasis bukti, maka pandemi akan menyapu komunitas manusia, bisnis, sistem kesehatan, mengambil nyawa dan pekerjaan manusia.

Benar saja, ketidaksiapan dunia menghadapi pandemi ini telah menggoyahkan ekonomi, memunculkan pengangguran, makin melemahnya sistem kesehatan dan yang pasti membludakkanya masyarakat terinfeksi, lebih dari 10 juta kasus corona di dunia. Indonesia sendiri telah mencapai lebih dari 50 ribu kasus. Data itupun sangat mungkin bagai puncak gunung es. Sebab, tes masif belum merata dilakukan di Indonesia. Dengan kondisi demikian, maka mengagendakan new normal tentu sangat membahayakan.

Sampai kapan pandemi ini akan berakhir jika bencana kesehatan ini justru diselesaikan dengan cara kapitalisme yang hanya mementingkan uang? Induk kapitalisme, Amerika Serikat telah tampak kerapuhannya. Sosialisme-komunis yang saat ini diwakili oleh Cina pun belum bisa menunjukkan kapabilitasnya dalam menangani wabah. Negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi menyaingi Amerika ini pun belum terbukti mampu mengatasi penyusutan ekonomi akibat pandemi. Apa lagi tumpuan harapan kita selain pada Islam? Anehnya, masih saja ada yang nyinyir terhadap syariah khilafah dan meragukan kemampuan sistem Islam ini dalam  mengatasi pandemi.

/Islam, Solusi Shahih/

Islam memperhatikan beberapa  hal dalam menangani wabah. Yakni ikhtiar dan konsep tawakal.

Dalam ikhtiar atau usaha nyata menghindari bahaya, ada kaidah-kaidah yang perlu diperhatikan. Pertama, kaidah as-sababiyah (hukum kausalitas atau sebab-akibat). Bahwa virus ini muncul, ada penyebabnya yaitu ketidaktaatan manusia untuk makan makanan halal dan thayyib. Virus ini tidak segera tertangani, bahkan cenderung makin parah juga ada sebabnya, yakni sistem kapitalisme sekular yang lebih mengutamakan penanganan ekonomi dibanding penanganan wabah itu sendiri. Maka, Islam memerintahkan untuk memperhatikan sebab-sebab itu dan berupaya menghindarinya.

Kedua, pendapat pakar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan agar memperhatikan pendapat ahli atau pakar jika itu berkaitan dengan pemikiran, strategi, atau pada hal-hal yang perlu adanya pendapat ahli. Termasuk virus covid-19 ini jelas harus diperhatikan pendapat pakar kesehatan yang mendalami virus tersebut. Fakta bahwa negara saat ini tidak mengutamakan pendapat pakar kesehatan (tapi lebih memperhatikan para ekonom) itu menjadi salah satu penyebab wabah ini tak kunjung berakhir. Islam tidak memperolehkan hal demikian. Maka sistem yang mencetak penguasa prokapitalis ini harus segera diganti. Negara Islam wajib mengupayakan dan menfasilitasi penelitian mendalam bagi para pakar untuk menakhlukkan virus ini. Memberikan fasilitas kesehatan yang gratis bagi masyarakat. Mengedukasi masyarakat serta memfilter berita-berita hoax sehingga informasi yang tersebar di masyarakat adalah info valid yang berdasarkan bukti.

Ketiga, kaidah tentang dharar (kemudharatan atau bahaya). Islam melarang aktivitas yang membahayakan diri maupun orang lain.
"Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (HR Ibnu Majah) Maka kebijakan yang diambil oleh negara tidak boleh membahayakan kesehatan dan nyawa rakyat. Masyarakat pun memiliki kesadaran tinggi dengan adanya edukasi. Itu semua ikhtiar yang harus dilakukan oleh negara. Masalahnya negara yang punya konsep seperti ini hanya negara Islam. Kita mengenalnya dengan Daulah Khilafah Islamiyah. Sudah banyak sejarah yang mencatat bagaimana Khilafah berhasil menangani wabah.

Selanjutnya ikhtiar tersebut diiringi dengan tawakal. Bahwa datangnya wabah ini adalah qadha Allah. Allah ta'ala yang mampu menakhlukkan makhluk yang makin mengganas ini. Maka, tugas kita sebagai muslim adalah berserah diri, mohon ampun pada-Nya. Karena, bisa jadi musibah ini peringatan bagi orang-orang zalim dan orang-orang yang tak mau menghentikan kezaliman tersebut. Maka tugas kita selain berserah dan muhasabah diri adalah terus berupaya menegakkan hukum-hukum Allah, Sang Pencipta makhluk yang berukuran 125 nanometer ini. Selanjutnya kita berdoa pada Allah Yang Maha Kuasa agar wabah ini segera diangkat dan diganti kehidupan Islam yang jauh lebih baik. Menuju the trully normal life. Kehidupan normal yang sebenarnya dalam naungan Islam. Allah Maha Penolong. Tugas kita, melayakkan diri untuk mendapat pertolongan itu.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama