Anwar Rosadi
(Biro Hukum Dan Jaringan Indonesia Change)
Tahun 2019 lalu, Kementerian Agama membuat kebijakan kontroversial yaitu merevisi 155 buku pelajaran agama yang tak sesuai konteks zaman dalam versi pemerintah, seperti khilafah dan jihad.
Tahun ini, ada ratusan judul buku yang direvisi berasal dari lima mata pelajaran, yakni Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Alquran dan Hadis, serta Bahasa Arab dalam rangka mensukseskan program moderasi beragama.
Menilai kebijakan tersebut, penulis mengingatkan bahwa sistem pendidikan adalah salah satu cara untuk mempertahankan ideologi suatu peradaban, oleh karena itu, maksud dan tujuan dari sebuah kurikulum pendidikan sangatlah penting adanya. Sampai pada saat ini, sistem pendidikan di Afghanistan tidak dapat menopang kebutuhan masyaratkatnya, sama halnya juga dengan sistem perpolitikannya.
Ironisnya, penerapan sistem sekuler dan arah pendidikan sekuler oleh pemerintah Barat yang diklaim sebagai solusi atas segala kesengsaraan negeri muslim seperti Indonesia ini hanya menimbulkan lebih banyak sisi negatif. Para generasi muda yang masih memiliki mimpi akan kemajuan dan pendidikan terjebak dalam keputusasaan karena mereka harus segera menyadari bahwa dengan kondisi negara mereka yang masih belum berdaulat secara ekonomi dan politik seperti sekarang adalah sebuah kemustahilan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan yang memadai, pendidikan yang akan menopang generai muda untuk benar-benar bangkit. Kondisi Ini bertentangan dengan sistem pendidikan yang ada pada masa kegemilangan Islam, yang apabila ditegakkan kembali, akan memberikan sistem pendidikan yang dapat mengarahkan pemuda muslim dan seluruh masyarakat kepada kemajuan yang sesungguhnya.
Kami menangkap sebuah pesan tersirat dari kebijakan ini, bahwa tujuan dibalik reformasi ini adalah penyisipan ide-ide sekuler dalam sistem pendidikan, yang secara tidak langsung membentuk generasi muda menjadi tenaga kerja yang melayani agenda kapitalisme sekuler. Agenda sekularisasi ini adalah ikut dalam membentuk masyarakat yang jauh dari nilai agama dan norma adat. Dan menjadikan masyarakat patuh terhadap nilai-nilai dan norma-norma sekuler.
Kondisi tersebut mengacu pada proses sejarah ketika pentingnya nilai-nilai agama hilang dalam kehidupan sosial dan budaya. Sebagai hasil dari sekularisasi ini peran agama dalam masyarakat modern menjadi sangat terbatas. Di dalam Islam tidak ada pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan seperti halnya di peradaban barat. Dalam peradaban Islam, hukum-hukum Islam menjadi landasan dari semua aktivitas dan sudut pandang dalam kehidupan (menggunakan halal haram) sebagai tolak ukur. Sebaliknya sekularisme menyatakan bahwa agama adalah urusan pribadi, individu dan dilakukan dengan sukarela tanpa adanya pengaruh terhadap kehidupan sosial dan sistem pendidikan.
Oleh karena itu, musuh-musuh Islam mempropagandakan bahwa sekularisasi, demokrasi dan kesetaraan gender adalah landasan dari perdamaian abadi dan kemajuan di negeri ini, para generasi muda diarahkan melihat agama dan pendidikan dalam sudut pandang ini yang sangat jauh dari nilai Islam. Mereka melaksanakan strategi yang berbeda untuk mensekularisasi sistem pendidikan dan menjauhkan pemuda dari kebenaran Islam sebagai jalan kehidupan yang sempurna.[]