Rifka Syamsiatul Hasanah
(Penulis dan Pemerhati Remaja)
Heboh! Seruan boikot Unilever di jagat maya akhir - akhir ini menjadi sorotan netizen Indonesia. Pada pasalnya perusahaan tersebut dengan bangga menyatakan diri memberi dukungannya terhadap gerakan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ+) di akun instagramnya. "Kami berkomitmen untuk membuat rekan LGBTQ+ bangga karena kami bersama mereka. Karena itu, kami mengambil aksi dengan menandatangani Declaration of Amsterdam untuk memastikan setiap orang memiliki akses secara inklusif ke tempat kerja," kata Unilever.
Hal itu telah menuai banyak kecaman di dunia maya, hingga akhirnya lahirlah seruan boikot Unilever. Seruan boikot juga disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua Komisi Ekonomi MUI, Azrul Tanjung, menegaskan akan mengajak masyarakat untuk beralih pada produk lain. “Saya selaku ketua komisi ekonomi MUI akan mengajak masyarakat berhenti menggunakan produk Unilever dan memboikot Unilever,” kata Azrul saat dihubungi Republika, Ahad (28/6).
Kita tahu seruan boikot Unilever yang dilakukan oleh masyarakat menjadi salah satu bentuk keberpihakan mereka pada kebenaran. Karena siapapun yang mendukung LGBTQ+ secara tidak langsung telah mendukung kebathilan, mendukung rusaknya tatanan kehidupan sosial di tengah - tengah masyarakat. Hanya saja yang menjadi pertanyaan apakah gerakan boikot Unilever akan menjadi solusi untuk menghentikan masifnya dukungan terhadap LGBTQ+? Dan akankah menjadi solusi untuk menghentikan gerakan LGBTQ+?
Perlu kita ketahui boikot suatu perusahaan dengan masif bisa jadi akan merugikan perusahaan tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak akan menjadi jaminan bahwa dukungan terhadap kerusakan (LGBTQ+) akan dihentikan. Apatah lagi dukungan terhadap LGBTQ+ tidak datang hanya dari satu perusahaan.
Di era dominasi kapitalisme seperti saat ini, MNC perusahaan multinasional yang mendukung LGBT justru berpijak pada liberalisme yang diagung - agungkan oleh mayoritas masyarakat dunia tanpa melihat akibat yang akan ditimbulkannya bagi tatanan kehidupan sosial di masa yang akan datang. Bukan hanya itu dukungan mereka pun berpijak pada asas manfaat. Dimana ketika mereka mendukung LGBT, maka mereka akan mendapatkan lahan subur bagi bisnis yang selama ini dikelola. Akan ada kerjasama antara pihak yang mendukung dan pihak yang didukung.
Selama kapitalisme tetap eksis menjadi sistem pengaturan global, maka selama itu pulalah dukungan terhadap berbagai kerusakan akan terus mengalir tiada henti. Hingga akhirnya kerusakan akan semakin menjadi - jadi di dunia ini. Maka sudah saatnya bentuk perlawanan yang hanya sekedar boikot, hingga tak berpengaruh sedikit pun terhadap eksistensi LGBT beralih kepada perlawanan yang mampu menghapus paham - paham rusak yang sistemik merusak individu dan tatanan kehidupan sosial dunia. Butuh adanya sistem global yang akan merubah carut marutnya wajah dunia. Hanya Islamlah yang mampu mewujudkan itu semua. Karena pada hakikatnya Islam adalah rahmat bagi semesta alam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَمَاۤ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّـلْعٰلَمِيْنَ
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 107)
Islam itu sempurna dan paripurna. Bukan hanya sekedar agama tapi juga sistem kehidupan dengan aturannya yang komprehensif. Islam akan melahirkan individu, lembaga juga negara yang taat kepada syari'at. Negara tidak akan membiarkan gerakan - gerakan atau komunitas yang mengkampanyekan kebathilan eksis di tengah - tengah masyarakat. Negara akan memberikan sanksi kepada siapapun yang mendukung ataupun mengkampanyekan kebathilan. Hingga akhirnya kehidupan dunia diliputi dengan keberkahan.
Wallahu'alam bishshawab []