Topeng Kemiskinan dan Hijab Penguasa


Oleh: Mumtazah Az zahrah
(Aktivis Mahasiswi)

Obrolan di pagi hari dengan seorang teman di sebuah room chat kali ini membahas fenomena yang sejak lama membudaya. Yaps, fenomena pengemis yang biasanya membludak mejelang hari raya idul fitri. Namun karena tahun ini ada PSBB, maka hal tersebut tidak kentara. Tapi sayangnya mereka telah terlabeli menjadi nama sebuah kampung. Ini mengindikasikan bahwa sekelompok masyarakat telah menyepakati sebuah abnormalitas. Tidak hanya satu-dua orang yang terpaksa, yang lebih banyak, cenderung ‘memaksakan’ menjadi pengemis kota-kota besar.

Berbagai tipu daya fisik dimanipulasi untuk memunculkan iba demi recehan rupiah yang masuk ke dalam kantong lusuh. Menjadi rahasia umum memang, namun bak mencari jarum dalam tumpukan jerami, sulit membedakan mana yang berkamuflase dan mana yang sungguh seorang pengemis. Mengesampingkan izzah sebagai manusia demi bertahan hidup bahkan memenuhi gaya hidup. Miris!

Upaya legal sesuai UU-pun telah dilakukan. Menerjunkan pasukan satpol PP ke penjuru sudut-sudut favorit pengemis telah dilakukan. Namun sayang, tak pernah persoalan ini berujung usai. Seperti gerakan bawah tanah, terorganisir, sebuah sisi kelam negeri muslim, tak pernah diagkat untuk dientaskan. Pengemis, preman, pengamen, punk mereka pelaku ataukah korban?

Penghuni jalanan tersebut adalah bagian kecil dampak salah kelola sistem perekonomian yang berbasis kapitalis. Dalih kesetaraan gender, diambil utung oleh perusahaan besar dalam membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan. Menjadi buruh pabrik dengan gaji rendah sebagai imbalan ketelatenan dan ketekunan perempuan. Laki-laki yang memiliki kewajiban mencari nafkah justru pengangguran.

Perputaran modal yang berpusat pada kaum kapital membuntungkan kemampuan ekonomi orang pinggiran. Harta milik umum dan negara diprivatisasi swasta, menggelembungkan sebagian perut diantara jutaan perut kelaparan.

Menyerah pada keadaan, berdalih takdir membuat nilai kocar-kacir. Masyarakat hanya melihat dalam pandangan mata. Menerima koin tanpa mendapat hak sebagai warga negara di atas tanah yang kaya. Sedang kaum borjuis, kecerdasan mereka digunakan untuk meraup sebanyak-banyaknya keuntungan. Masa bodoh dengan kondisi yang lain.

Menghalalkan segala cara, kadang kala membuat mereka lupa, ada hak mereka yang dikuasai kaum digdaya. Penguasa mengabaikan perannya sekaligus mandat UUD 45. Bahwa orang miskin dan tak mampu dipelihara oleh negara, namun kenyataan mereka tutup mata. Keengganan pemerintah dalam mengentasan kemiskinan, semakin menyuburkan budaya meminta-minta. Inilah sekelumit keruwetan kisah dibahawah bayang-bayang kapitalisme. Menanampan mainset kebahagiaan materi. Membuat semua kalangan kedodoran memenuhi hasrat dunianya dengan berbagai cara.

Tidak ada suatu cara pandangpun yang bisa menampakkan ketenangan dan keadilan sebagaimana konsep islam. Bahwa rahmat Allah yang melimpah berupa SDA merupakan kepemilikan umum, sehingga peran negara ada dalam mengelolanya dan dikembalikan pada rakyat. Menjadi pemimpin adalah amanah di bumi yang akan diminta pertanggungjawaban kelak. Sehingga orientasi penguasa adalah semaksimal mungkin mampu mengurusi rakyatnya. Begitupun sebagai rakyat, mereka mendapatkan hak dari penguasa dan melaksanakan kewajiban. Karakteristik muslim senantiasa menjaga Izzah iffah-nya. Sehingga perilaku yang menyalahi syari'at tidak dilakukan hanya demi mencari makan.

Telah gamblang, Islam menawarkan konsep menjadi seorang negarawan, hal tersebut bisa dikembangkan seiring kemajuan sarana dan tekhnologi. Namun dalam Pendiktean kapitalisme, Islam akan jauh dari konsepnya. Maka sudah selayaknya, keyakinan kita akan akidah islam harus melahirkan keterikatan penuh terhadap simpul-simpul syariat. Dengan mencampakkan kapitalisme bersamaan anak-pinaknya akan menghancurkan jeruji dari kebebasan pelaksanaan syariat Islam. Sehingga pribadi-pribadi unggul akan lahir darinya.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama