Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Pemerhati Perempuan dan Generasi
Klaim BPJS di Rumah Sakit Mardi Waluyo Kota Blitar belum dibayar selama 6 bulan. Klaim dari BPJS belum dibayar mulai Mei sampai Oktober 2019. Klaim yang belum dibayar itu mencapai Rp. 36 – 38 miliar (Mayangkaranews.com, 31/10/2019).
” Kami sudah berkoordinasi dengan pihak BPJS terkait alasan tunggakan pembayaran itu. Dan berdasarkan informasi, tunggakan klaim ini disebabkan karena belum adanya dana yang masuk. Adanya tunggakan ini tidak hanya terjadi di Rumah Sakit Mardi Waluyo saja, namun juga Rumah Sakit Mitra lainnya. Namun kami menjamin Rumah Sakit tetap memegang komitmennya dalam memenuhi standar pelayanan kepada pasien,” jelas Ramiaji Direktur RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar. Ramiaji berharap, klaim BPJS bisa segera cair. Dengan begitu biaya operasional di rumah sakit bisa lancar dan pelayanan ke masyarat lebih maksimal.
Ramiaji berharap, klaim BPJS bisa segera cair. Dengan begitu biaya operasional di rumah sakit bisa lancar dan pelayanan ke masyarat lebih maksimal. Sementara itu Kepala BPJS Kesehatan Cabang Kediri Yessi Kumalasari dikonfirmasi melalui telepon mengatakan, pembiayaan kesehatan menggunakan sistem bulan berjalan sudah dilayani. Menurutnya, untuk tagihan dari RSUD Mardi Waluyo yang sudah masuk dan ada berita acaranya, baru Mei dan Juni dengan total tagihan yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan ke RSUD Mardi Waluyo untuk klaim Mei dan Juni sekitar Rp. 14,4 miliar.
Sedangkan untuk klaim mulai bulan Juli sampai Oktober 2019, masih berada di internal rumah sakit. Yessi memperkirakan, rumah sakit masih melengkapi persyaratan administrasi untuk mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan. Namun pihaknya mengakui, memang ada keterlambatan pembayaran tagihan dari sejumlah rumah sakit termasuk di RSUD Mardi Waluyo. Menurutnya BPJS Cabang Kediri juga menunggu dana dari BPJS Pusat untuk membayar tagihan dari rumah sakit.
Persoalan Layanan Kesehatan di negeri ini kembali mencuat ke permukaan. Seolah semakin menegaskan sebuah ungkapan bahwa 'orang miskin dilarang sakit', karena tak akan mampu menanggung seluruh biaya perobatan yang dibebankan dari pihak Rumah Sakit.
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Sehingga manusia akan senantiasa berusaha sekeras mungkin mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Pada awal Januari 2014 Pemerintah meluncurkan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang merupakan salah satu program pemerintah untuk mencapai pelayanan kesehatan yang menyeluruh. BPJS diselenggarakan berdasarkan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan penyelenggara dari program ini adalah PT Askes (Persero).
Selama lebih dari lima tahun lebih penyelenggaraannya, BPJS mengalami pasang surut yang luar biasa. Bahkan, setiap tahun sejak penyelenggaraannya, BPJS mengalami defisit yang kian membengkak.
Pada Tahun pertama (2014), BPJS telah mengalami defisit sebesar Rp 3,3 triliun. Tahun berikutnya semakin membesar, yakni Rp 5,7 triliun. Di tahun 2016 tercatat mengalami defisit Rp 9,7 triliun, 2017 mencapai Rp 9,7 triliun, hingga pada tahun 2018 mencapai angka Rp 10,98 triliun.
Pada tahun 2019 defisit BPJS defisit yang cukup parah bertengger di angka Rp 28 triliun, sehingga keadaan BPJS yang tekor, mengakibatkan Rumah Sakit terancam menghentikan layanan.
Seperti dilansir dalam Republika.co.id, defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menyebabkan keterlambatan pembayaran Klaim ke fasilitas kesehatan mitra. Jika hal tersebut berlarut-larut hingga akhir pertengahan tahun ini, layanan kesehatan untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) dikhawatirkan terhenti seperti yang terjadi pada tahun lalu.
Ketua kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Persiapan Daniel Budi Wibowo mengungkapkan, sejauh ini BPJS kesehatan mengalami ketidaksesuaian pembayaran klaim layanan kesehatan dengan iuran terkumpul.
Dengan demikian, jika tak segera ditalangi sebelum Agustus 2019, BPJS kesehatan akan mengalami kesulitan cash flow atau aliran dana. Dampaknya, ia mengakui pihak RS tidak bisa menerima pembayaran klaim pada waktunya. Padahal, dana ini ditunggu untuk dipakai membayar kewajiban Rumah Sakit.
Tantangan yang besar menjalankan Layanan kesehatan karena tak mencukupinya iuran. Walhasil, BPJS kesehatan menggantungkan diri pada opsi suntikan dana dari pemerintah. Dikarenakan pemerintah telah memberikan lampu hijau terhadap opsi kenaikan iuran.
Keuangan BPJS kesehatan defisit disinyalir karena jumlah iuran yang dibayarkan peserta lebih kecil daripada nilai Aktuaria atau perkiraan nilai iuran sesuai hitungan matematis. Namun, menurut kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas, BPJS Kesehatan masih bisa menggantungkan iuran dari peserta dengan segmentasi mampu.
Selain itu, dalam hal pendanaan ada alternatif pendanaan untuk skala pendek berupa supply chain financing. Jika, BPJS gagal membayar utang, RS dapat meminta anak untuk mengambil alih. Kemudian, bank dapat memperoleh untuk dari penalti bunga setiap bulan yang gagal dibayarkan BPJS Kesehatan ke RS tersebut.
Inilah yang terjadi jika kebutuhan vital diserahkan pengelolaannya kepada para kapitalis. Sehingga segala sesuatu harus dinilai dengan nominal uang. Bahkan dari segi detail teknis dan frekuensi pengobatan ditentukan oleh pihak BPJS.
Tak jarang pihak Rumah Sakit yang menangani pasien dengan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan lebih besar dan mahal, tak dapat berbuat banyak karena pengobatan yang diberikan ditentukan oleh pihak BPJS sesuai iuran yang dibayarkan peserta BPJS setiap bulanya. Rakyat hanya bisa pasrah dengan keadaan yang tersebut.
Membebankan rakyat dengan menaikkan iuran BPJS untuk menutupi defisit yang semakin meningkat serta demi mendapatkan pelayanan yang maksimal dari Rumah Sakit akan menambah penderitaan yang mereka alami.
Pasalnya rakyat telah lama hidup dalam kesengsaraan, harga-harga kebutuhan pokok semakin meroket, ditambah biaya pendidikan serta pajak yang selalu dipungut pemerintah dari rakyat, telah lama menghiasi kehidupan rakyat di sistem Kapitalisme seperti yang terjadi saat ini.
Sistem yang lahir dari paradigma yang rusak tak kan melahirkan kebijakan-kebijakan yang benar, tak kan mampu menciptakan tatanan kehidupan yang baik untuk rakyat dan mustahil dapat memberikan kesejahteraan.
Perkara Layanan Kesehatan BPJS yang gagal membantu masyarakat dalam menangani permasalahan kesehatan merupakan bukti bahwa kebijakan yang lahir dari sistem yang bobrok hanya akan menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari tanpa menjadi solusi terhadap permasalahan yang sedang terjadi.
Pelayanan kesehatan yang diserahkan kepada pihak Kapital menegaskan bahwa negara berlepas tangan terhadap tanggung jawab yang memiliki kewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik, profesional tanpa biaya sepeserpun kepada rakyat.
Pemerintah justru membuat UU yang memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan sengaja mengeluarkan aturan untuk mengeksploitasi rakyat demi keuntungan pengelola asuransi kesehatan tersebut.
Terbukti dalam UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b menyebutkan BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi.
Namun berbeda dengan Sistem Islam, dalam Sistem Islam memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat merupakan kewajiban negara. Pelayanan yang profesional, maksimal serta pengobatan yang terbaik baik itu penyakit ringan maupun berat, akan diberikan kepada rakyat secara gratis. Rakyat tidak perlu membayar iuran setiap bulanya demi memperoleh pelayanan kesehatan.
Hal itu terukir dalam sejarah emas peradaban Islam dalam bingkai kekhilafahan. Negara hadir sebagai penegak syariat Islam secara kaffah. Yang mana bertanggung jawab langsung memenuhi hajat hidup rakyatnya. Termasuk dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sehingga negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya salah satunya dengan menanggung seluruh biaya pengobatan yang dibutuhkan rakyat.
Dalam Islam, rumah sakit, dokter dan para medis tersedia secara memadai dan tersebar dengan memadai di seluruh pelosok negeri. Negara memberikan fasilitas untuk terwujudnya pelayanan kesehatan yang terbaik dengan memberikan aspek penguasaan ilmu, pengetahuan dan keahlian, ketersediaan obat, alat kedokteran bahkan gaji dan beban kerja yang sesuai.
Sehingga pasien yang keluar dari rumah sakit akan merasakan kebahagiaan lantaran mendapat pelayanan yang terbaik. Bahkan disediakan pula rumah sakit berjalan, lengkap dengan obat-obatnya, peralatan medisnya, dokter serta tenaga medis lainya untuk mendatangi orang-orang sakit yang tidak dapat hadir ke rumah sakit.[]