Oleh : Fauziyah Ali
Pelakor adalah perebut laki orang. Dalam hal ini laki adalah laki-laki yang menjadi suami. Rasanya istilah pelakor itu baru ada di era milineal. Ya, itu kalau saya tidak salah 'merasa'. Hehehe. Tapi perbuatan 'merebut' suami orang seperti yang dilakukan pelakor zaman now, ya sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Telah menikah untuk ukuran zaman now, bukan berarti urusan selesai. Lalu hidup adem, ayem, tentram, sehat, dan sejahtera. Selain harus menyesuaikan ritme suami-istri yang sering berbeda, karena memang suami istri itu tidak sama, ancaman pelakor mengintai keluarga-keluarga utuh, yang baik-baik, kalau bisa kaya raya. Syukur-syukur suami yang akan direbut tergolong yang layak dijadikan imam (agamanya kuat, istilahnya). Belum lagi kalau wajahnya ganteng pula. Wah, sempurnalah sudah. Pengintaian akan begitu masif dan terencana.
Sebenarnya kalau suaminya terkategori orang yang bisa menundukkan pandangan, aktivitas merebut dari pelakor ini tidak akan mudah. Atau sederhananya pelakor tidak akan bisa merebut. Tapi apalah, para suami juga seorang manusia bukan robot. Apalagi jika ditambah dengan istri pertama yang over protektif, bawaannya curigaan aja. Jadi suami kayak bawa drone, alat penyadap kemana-mana. Tentu jika kondisi seperti ini rumah ibarat tempat yang penuh paku.
Didramatisirlah dengan kondisi fisik istri yang tambah gendut, baju kebesaran bentuk daster melulu, di rumah teriak-teriak aja waktu nyuruh anak mandi. Apa gak bisa suaranya halus gitu? Seperti masa taaruf dulu. Tapi si suami makin mapan, makin berusia, makin terlihat berwibawa, makin ganteng pada beberapa orang (tapi pada beberapa orang lain tidak) Hahahhaha...
Kemudian disimpulkan, tidak tenang di rumah. Mau gimana lagi, sudah tidak ada cinta. Masuklah pelakor ini ke dalam skenario. Larut seperti gula jadi manis. Tapi yang manis ini sifatnya rahasia. Simpan terus sampai terbongkar dan tidak berkutik lagi. Tapi biasanya insting istri sangat tajam untuk soal bongkar membongkar hal begini. Betul tidak?
====
Pelakor ini sebenarnya menurut analisa saya korban kekejaman kapitalisme. Lihatlah, kapitalisme mengukur kesuksesan dari materi. Nggak kaya, ya nggak berhak bahagia kasarannya begitu. Pergaulan bebas yang serba boleh menjadikan ikatan-ikatan kacau balau.
Semua orang tahu, jumlah wanita sekarang jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Sudah jumlah laki-laki sedikit, banyak yang enggan membangun hubungan bertanggung jawab, eh ditambah banyak laki-laki yang berperilaku seks menyimpang seperti LGBT. Para bencong itu memilih berpasangan dengan sesama laki-laki. Karena kalau pada wanita, mereka tak suka. Tak sesuai dengan hati kecil mereka dan memutuskan untuk menyukai sesama jenis saja. Tambah kacaulah dunia jagat raya.
Tak ayal hal-hal di atas hidup tanpa perlindungan. Wali-wali mereka pun tak bertanggung jawab dengan memisahkan keluarga hanya pada tataran ayah, ibu, dan anak. Padahal seorang wanita juga ada ikatan wali pada beberapa laki-laki dari jalur bapak. Wanita harus berhadapan dengan kehidupan tanpa perlindungan, tanpa jaminan keamanan akibat diberlakukannya kapitalisme.
Akhirnya, karena budaya serba boleh tadi. Para wanita yang memang sebenarnya harus dilindungi mulai berinisiatif mencari pelindung. Tentu yang dicari, yang pasti-pasti aja. Pasti mapannya, pasti baiknya, pasti kayanya, dan pasti gantengnya. Hehehehe. Jadilah mereka para pelakor.
====
Tapi begini para netizah, selain poligami itu memang hak dari seorang suami, penampakan suami yang semakin usia semakin berwibawa itu bukti kematangan ini bisa dipersiapkan untuk mengurusi beberapa 'tulang rusuk' lagi. Bisa satu, dua, tiga, atau empat.
Para wanita yang butuh perlindungan tadi, jika dinikahi akan mendapat kebahagiaan seperti wanita yang telah menikah. Jauh lebih mulia jadi istri, walau bukan istri pertama ketimbang jadi selingkuhan.
Dengan poligami, suami tidak hanya membangun satu bangunan rumah tangga yang akan dibimbing menuju surga. Jika mampu suami akan membangun beberapa bangunan rumah tangga lagi. Tapi sungguh ini berat. Jauh lebih berat dari rindunya Dilan. Tanggung jawabnya di dunia dan akhirat. So, para suami jika tak mampu, cukup satu saja tulang rusuknya. Insya Allah jauh lebih aman.
Salam, Saudaramu
Fauziyah Ali