Oleh: Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Hari Selasa tanggal 24 September 2019 telah menorehkan sejarah baru dalam demokrasi. Gelombang mahasiswa menyerbu DPR di berbagai kota di Indonesia. Mereka menuntut hal yang sama yakni rancangan undang-undang (RUU) yang bermasalah. Beberapa RUU bermasalah yang didemo mahasiswa adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan. Baca selengkapnya di artikel "Isi RUU Bermasalah Didemo Mahasiswa Hari Ini di Jakarta & Kota Lain", https://tirto.id/eiCs.
Aksi serupa kemudian diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat lainnya. Bahkan para remaja yang masih berseragam putih abu-abu turut bersuara. Mereka mulai sadar bahwa hukum yang dihasilkan oleh anggota dewan, nyatanya penuh kepentingan dan ketimpangan. Jika diterapkan akan merugikan banyak orang.
Fenomena ini sekaligus menjadi bukti demokrasi demokrasi telah gagal. Demokrasi telah membawa banyak korban dan juga kerusakan. Dengan memisahkan manusia dari agama. Sehingga mereka bebas membuat aturan sendiri dengan mengambil dari realita kehidupan manusia kemudian dibuatlah aturan. Sistem ini juga yang kini tengah diterapkan di negeri tercinta. Padahal, sebagaimana kita ketahui manusia memiliki sifat yang terbatas. Tidak patut menyandang sebagai pembuat hukum.
Dalam sistem kapitalis pun tolak ukur yang digunakan adalah kemanfaatan. Dengan asas inilah perbuatan diukur dan ditegakkan. Maka tak heran jika RUU yang dihasilkan syarat akan kepentingan. Selain bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan juga sebagai alat perlindungan. Alhasil keberadaan hukum bukan lagi sebagai penjamin keamanan. Tetapi justru sebagai alat penjamin kebebasan bagi oknum yang berkepentingan. Sehingga hukum yang diterapkan justru tumpul ke atas serta tajam ke bawah. Jauh dari keadilan yang sesungguhnya.
Dalam Islam, satu-satunya pembuat hukum adalah al-Khaliq yaitu Allah Swt. Dimana aturan tersebut termaktub dalam Alquran dan hadist. Negara tidak memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan hukum-hukum syara' jika ijtihad dalam satu atau lebih topik hukum menghasilkan beragam pendapat. Serta menjadikan halal dan haram sebagai tolak ukur setiap perbuatan.
Setiap orang melaksanakan syariat Islam atas dorongan ketakwaan yang tumbuh dalam jiwa. Sementara pelaksanaan teknisnya dilakukan oleh negara dengan adil. Sehingga penerapan syariat Islam bisa dirasakan oleh semua orang. Dengan ditopang sikap amar ma'ruf nahyi mungkar serta sikap tolong menolong dalam masyarakat. Penerapan syariat secara kafah telah terbukti memberikan keadilan serta kesejahteraan.
Tuntutan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar membatalkan RUU. Namun, mengganti sistem yang telah melahirkan RUU bermasalah. Kemudian diganti dengan sistem yang telah terbukti memberikan maslahat. Yaitu sistem Islam. Satu-satunya sistem yang berasal dari Pencipta. Wallahu'alam bishowab.[]