Oleh: Rahma Syahidah
Hati-hati. Ya, kalimat inilah yang terus digaungkan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam bersosial media. Pasalnya, Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan menyampaikan informasi terkait hukuman bagi ASN yang terbukti menyebarkan postingan berbau ujaran kebencian. Bukan hanya mengunggah, melainkan memberikan respon berupa like, komen, maupun regrann pada postingan yang memuat ujaran kebencian, penguasa bisa menindak tegas dengan hukuman paling ringan berupa teguran lisan dan tertulis hingga hukuman berat yakni pemberhentian masa jabatan.
Ancaman hukuman atas nama ujaran kebencian bukan saja membidik para Aparatur Negara Sipil namun juga menyasar kalangan ulama. Padahal, tolok ukur ujaran kebencian yang dimaksudkan pun tak jelas arahannya. Berlaku hukum "semau gue" alias suka-suka pemilik kekuasaan. Aman bagi 'kaki tangan' penguasa namun bahaya bagi sesiapa yang berupaya menyuarakan kebobrokan penerapan sistem yang dijalankannya.
Lebih-lebih jika dikaitkan dengan agenda deradikalisasi yang tentu lakon utamanya bisa tertebak. Siapa lagi jika bukan umat Islam yang dicap sebagai radikalis. Padahal lagi-lagi definisi radikalisme sendiri tak jelas standarnya. Atas Ama melawan radikalisme, ulama dipersekusi. Sehingga tak heran kriminalisasi ulama kian gencar dilakukan. Upaya penguasa untuk membungkam para aktivis dengan menjadikan UU sebagai senjata untuk menjerat mereka kian masif saja. Seolah tiada ruang bagi penyampai kebenaran. Tiada maaf bagi mereka yang 'menelanjangi' kesalahan penguasa.
Sungguh ironis! Di negeri yang katanya punya kebebasan berpendapat ternyata hanya slogan semata. Demokrasi telah menutup pintu muhasabah bagi penguasanya. Keberpihakan penguasa kepada kepentingan kapitalis telah jelas terbaca. Lantas bagaimana rakyat mau percaya kepada penguasa yang tak mau dikoreksi kesalahannya? Padahal kesalahan penguasa bejibun jumlahnya.
Islam mengatur muhasabah, khususnya muhasabah kepada penguasa. Dalam Islam, menjadi pemimpin atau penguasa merupakan tanggung jawab dan amanah besar. Sehingga dalam menjalankan amanahnya, penguasa haruslah tetap berpegang teguh kepada syar'iat Islam.
Mengatur urusan umat dengan Islam. Dan rakyat sebagai pihak yang dipimpin memiliki kewajiban untuk memastikan penerapan segala kebijakan yang diambil oleh penguasa bukanlah penerapan yang keluar dari koridor hukum Syara'. Jika tercium sinyal kedzaliman yang dilakukan penguasa kepada rakyat, maka rakyat berhak dan berkewajiban untuk melakukan muhasabah.
Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104 yang artinya:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."
Penguasa harus legowo apabila mendapat koreksi dari rakyat atas kekeliruannya dalam mengambil kebijakan. Dan tidak boleh bagi penguasa untuk melarang , menghalangi bahkan mengambil kebijakan represif bagi rakyat yang berupaya melakukan koreksi kepada penguasa.
Dengan adanya muhasabah kepada penguasa, maka penerapan sistem Islam dalam negara tetap terjaga. Bayangkan jika rakyat hanya diam saja melihat segala bentuk kedzaliman dan kemaksiatan yang dilakukan penguasa, maka pastilah rantai kedzaliman dan kemaksiatan penguasa tidak akan bisa terputus tanpa adanya penyadaran terhadap dirinya. Wallahu A'lam bi showwab. []