TAHTA DI ATAS NESTAPA



Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice


Tepat tanggal 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan susunan kabinet Indonesia Maju. Prabowo Subianto Ketua Umum Gerindra namanya disebut sebagai Menteri Pertahanan.

Kabar tersebut cukup mengejutkan dan menambah kekecewaan para pendukungnya di Pilpres sebelumnya. Karena pilihan yang digadang-gadang akan konsisten berada di jalur oposisi melawan kezaliman, akhirnya berubah jadi koalisi yang takluk dengan penguasa. Inilah fakta pahit demokrasi. Dalam demokrasi memang sudah menjadi hal biasa bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Jadi lumrah fenomena ini terjadi. Dahulu kala getol menjadi oposisi mengkritisi segala kebijakan yang dinilai tidak memihak rakyat. Di waktu yang berbeda tiba-tiba berubah haluan menjadi penjilat atau pendukung penguasa.

Inilah demokrasi, bertahta di atas nestapa adalah sesuatu keniscayaan yang akan sering ditemui. Nestapa dan luka umat belum kering, tapi yang didukung mati-matian malah sudah berputar 180°, dahulu oposisi sekarang menjadi koalisi.

Ya, walaupun masih ada saja yang membela. Bahwa mereka yang masuk ke dalam sistem menjadi koalisi akan melakukan manuver politik. Selama ini fakta yang ditunjukkan tentang sikap yang berkoalisi dengan penguasa pasti akan menjadi pembela penguasa, kenapa?

Karena takut jika kebanyakan kritik kritis yang tak sejalan dengan titah penguasa akan di-reshuffle. Oleh karenanya, wajar jika mereka mendukung dan turut mensukseskan titah penguasa. Karena itulah konsekuensi menjadi koalisi penguasa.

Kondisi di atas sangat bertolak belakang dengan cara pandang Islam. Dalam Islam ada kawan dan lawan abadi. Kawan abadi adalah saudara sesama Muslim yang senantiasa istiqomah dalam menapaki jalan iman, ketaatan, kebenaran, keadilan, dan melawan kezaliman. Musuh abadi Islam adalah segala bentuk pelanggaran syariat yaitu kemunkaran yang menyebabkan kezaliman.

Hal di atas tidak akan bisa ditawar maupun dinego oleh siapapun dan apapun karena tolok ukur benar dan salah dalam Islam telah jelas dalam Al Quran dan Sunnah. Hal ini jelas berbeda dengan demokrasi, sistem buatan manusia dimana benar dan salah bisa dinego sesuai kebutuhan dan kepentingan yang punya kuasa.

Dari paparan di atas, cukup menjelaskan bahwa berharap keadilan pada demokrasi seolah menegakkan benang basah. Bahkan demokrasi bisa mengubah singa jantan menjadi kucing betina. Ya, demokrasi memang bukan habitat umat Islam dimana umat Islam harus kukuh memegang prinsip. Bukan menjadi munafik mengingkari keadilan yang seharusnya diperjuangkan sampai titik darah penghabisan.

Saatnya umat sadar, kembali berjuang menerapkan syariat Islam sampai sempurna agar keadilan benar-benar bisa diwujudkan. Karena hanya dengan sistem ini, akan lahir singa-singa Allah yang konsisten membela Al Haq dan melawan kebathilan. Dimana mereka tidak akan mudah tergoda dengan tawaran kesenangan dunia fana, karena jiwa mereka telah dibeli oleh Penguasa Alam Allah Azzawajalla.

Dua ayat ini semoga senantiasa menjadi pengingat kita semua,

"Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat." (TQS: Al-Baqarah [2] : 265)

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS: Al-A’raf [7]: 96). []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama