Oleh: Tri S,S.Si
(Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Akhir pekan kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati datang ke acara PKN STAN. Pada kesempatan itu, ia tampil sebagai pembicara utama dalam acara Dinamika (Studi Perdana Memasuki Kampus) dengan tema Kebudayaan Indonesia.(MINEWS.ID, 01/10/2019).
Dalam pidatonya, Sri Mulyani kembali menekankan agar semua yang telah lulus dan masuk sebagai mahasiswa di PKN STAN untuk tidak mengkhianati negara. Apalagi seluruh biaya selama menempuh pendidikan di PKN STAN akan dibiayai oleh negara.
Para pengkhianat yang terus merugikan negara tidaklah dari mahasiswa yang notabene tidak menduduki jabatan mentereng dalam kekuasaan. Kebijakan mahasiswa tak pernah membuat kekayaan alam negeri ini terus dieksploitasi penjajah asing. Bahkan, mahasiswa tidak sesumbar berucap mereka Pancasila, lalu diam-diam menjual aset negara.
Saat mahasiswa turun ke jalan, menyuarakan tuntutan dan mengharapkan perubahan, tentu didasarkan berbagai alasan: Mendapati bahwa pemerintah telah gagal mengelola negara; empat tahun berkuasa, perekonomian bangsa porak poranda; jumlah utang menggila.
Penegakan hukum juga tidak adil dan merata. Bangsa yang besar ini bertransformasi menjadi bangsa sakit dan menderita. Aspirasi mahasiswa disumbat oleh tangan besi aparat. Unjuk rasa para intelektual muda, diladeni dengan aksi main pukul penegak hukum.
Dan kini, Pemerintah lewat Menterinya berkata jangan jadi pengkhianat! Bahkan akan menindak dengan sanksi keras bagi rektor yang menggerakkan mahasiswa untuk berdemo. Apakah penguasa negeri ini telah menjelma menjadi tirani?
Sesungguhnya, mahasiswa ialah penggerak yang mengajak seluruh masyarakat untuk dapat bergerak dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, dengan pertimbangan berbagai ilmu, gagasan, serta pengetahuan yang mereka miliki.
Bukan saatnya lagi berdiam diri dan tidak peduli dengan permasalahan bangsa dan juga negaranya, karena di pundak mereka titik kebangkitan suatu negara atau bangsa diletakkan. Mahasiswa akan tetap tampil di depan menyuarakan kebenaran. Meski pemerintah saat ini seakan tidak menyadari, sikap represif yang ditunjukkan justru tidak akan pernah bisa membungkam mulut rakyat.
Jika berharap pada para politisi, para petinggi negeri, serta jajarannya, bukan perubahan hakiki yang didapatkan. Karena nyatanya masalah negeri tak kunjung selesai di tangan mereka. Mereka seolah tidak memiliki pilihan yang objektif untuk membantu masyarakat dalam memahami perubahan situasi politik yang sebenarnya. Justru memunculkan huru hara sebagai upaya menghambat terbentuknya kecerdasan politik masyarakat.
Keberadaan para koruptor dan penguasa antek asing akan senantiasa hidup selama sekularisme kapitalis ditegakkan. Eksistensi mereka sebagai pengkhianat sebenarnya akan terus langgeng karena hukum tidak tegas pada mereka.
Bahkan, begitu sering KPK menangkapi para pejabat yang korup. Mantan Ketua MPR, Zulkifli Hasan, sampai khawatir jika KPK meneruskan operasinya menggeledah kantor atau rumah para pejabat, suatu saat nanti tidak akan ada lagi orang yang mengurus negeri ini, karena semuanya telah tertangkap KPK. Maka saat ini, KPK pun tak luput dari upaya pelemahannya lewat revisi UU KPK.
Sejumlah poin yang dianggap akan melemahkan KPK antara lain keberadaan Dewan Pengawas KPK, dilucutinya sejumlah kewenangan KPK terkait penyidikan dan penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan. Demikian ungkap juru bicara KPK Febri Diansyah (kompas.com, 25/9/2019).
Indonesia sudah menyelenggarakan 12 kali pemilu dan ratusan pilkada di berbagai daerah, tapi kualitas wakil dan pemimpinnya tidak mengalami perbaikan. Bahkan, jika melihat indikator korupsi, kualitasnya semakin parah. Ini yang terus terjadi dalam sistem sekuler kapitalis.
Koruptor terus menunjukkan eksistensinya, tak malu bila ditangkap dan dipenjarakan. Malah masih bisa tersenyum dan mengatakan mereka terzalimi. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka mengatakan tidak mendapatkan keadilan. Kerugian negara tak terhitung lagi, tapi terus membenarkan diri. Menggelikan sekali.
Penguasa antek asing juga terus menjalankan kebijakannya. Tak berupaya untuk menyejahterakan rakyat. Dalam pikiran mereka ialah selalu untung rugi. Merasa untung, ketika bisa memberikan peluang bagi asing menjarah seluruh kekayaan alam Indonesia. Merasa rugi, jika memberikan pelayanan terbaik dan gratis bagi rakyatnya. Sehingga, tarik semua subsidi dari rakyat sebagai jalan mulus mereka mendapatkan ‘kebaikan’ dari asing.
Maka, masihkah berharap pada sistem sekuler kapitalis yang telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat?
Kembalilah pada Islam, Islam yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah. Faktor akidah dan ketakwaan kepada Allah ini terbukti telah membentuk self control, yang menjadikan para pejabat tidak bisa disuap.
Jika mereka mendapatkan apa yang bukan menjadi hak mereka, segera mereka serahkan kepada negara meski tak seorang pun mengawasi mereka. Karena ada Allah yang Maha Melihat dan Mendengarkan tingkah laku mereka.
Sementara, orang yang telah dinyatakan sebagai tersangka korupsi lantaran kejahatan yang dilakukannya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan salah satu kriteria yang menjadikannya layak sebagai pejabat, yaitu adil dan tidak fasik.
Fasik adalah orang yang melakukan kejahatan dengan terang-terangan dan tidak mempunyai rasa malu. Karena itu, para koruptor ini sebenarnya merupakan orang-orang fasik, yang tidak layak menjadi pejabat publik.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah membuat kebijakan agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.
Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubernur Bahrain), Amru bin Ash (Gubernur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubernur Mesir), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubernur Makkah), dan lain-lain.
Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis agar tidak ada konflik kepentingan. Dan dapat dipastikan bahwa Anggaran Belanja Negara Islam untuk pembangunan daerah sesuai kebutuhan, bukan karena potensi kekayaan daerah.
Sudah selayaknya kita mengharapkan dan merindukan hidup dalam pengurusan sistem Islam yang memastikan tidak akan ada tempat bagi para pengkhianat negara, yaitu para koruptor dan penguasa antek asing.[]