Balada BPJS - Bagian 2



Oleh: Fauziyah Ali

Mari, kita bahas soal BPJS ini secara lebih 'njelimet' tapi akan mencerahkan karena akan ketemu akarnya dimana. Bismillah...

Pada awalnya saya 'gemes', itu kesehatan bisa-bisanya jadi diliberalisasi begitu. Ibarat barang dagangan. Makin bagus makin mahal. Anda tak punya uang ya harus terima kenyataan kalau layanan fasilitas kesehatan yang diterima alakadarnya. Orang sakit, pelayanannya berlaku kelas. Bukankah seharusnya pelayanan berdasarkan jenis sakitnya? Bukan berdasar rakyat mampu bayar fasilitas kelas berapa? Iya to?

Trus itu kenapa koq yo kepikiran menunjuk 3200 tenaga tenaga penagih yang akan bekerja untuk menagih iuran BPJS dengan target per orang sekitar 5 juta plus bisa merekrut nasabah baru?

Lalu, berita yang dishare hanya soal defisit anggaran yang mencapai 9 Trilyun bertambah trus hingga yang terakhir ini sejumlah 32 Trilyun. Mengapa yang diekapos hanya kekurangan pengeluaran saja? Berapa dana yang masuk koq tidak diekspos?

====

FYI or for your information, yang adopsi sistem kesehatan macam BPJS itu, banyak negara lho. Percayalah kalau Indonesia jadi sistem kesehatannya begini ya karena ada yang mengarahkan dengan pemaksaan.

Konsep dimana kesehatan/pelayanan kesehatan harus dikomersilkan telah dipaksakan World Trade Organization (WTO) untuk diadopsi dunia terutama negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia. Itu semua termaktub dalam kesepakatan perdagangan, General Agreements Trade in Services (GATS), tahun 1994. Memang dasar kapitalisme, masalah kesehatan pun jadi barang dagangan.

Kapitalisme mah kan gitu, pengennya cari keuntungan. Kalau barang pokok jadi bisa dijual kan untungnya banyak tuh. Segambreng. Harga yang menentukan pemegang kebijakan. Mau tidak mau ya harus mau. Begitulah...

Atau kalaulah banyak orang 'ogah' bayar biaya kesehatan karena mahal, buatlah suatu cara supaya rakyat tetap menyerahkan uangnya secara rutin baik dalam keadaan sehat atau sakit. Ya, model asuransi itulah. Apakah ini bisa dipahami, Guys?

====

Sudah menjadi rahasia umum. Uang yang dikumpulkan melalui mekanisme asuransi itu, sering dibuat untuk modal usaha pihak-pihak tertentu dengan akses modal sampai ke luar negeri. Hayo siapa yang mau jawab gini, "Jangan berburuk sangka ajalah?"
Eh, saya jawab, "Up date info yuk, soal ini sudah jadi rahasia umum lho, jangan-jangan kamunya aja yang nggak tahu? Hayo, ngaku!"

Lagian soal ini kebaca koq di undang-undang yang mengatur BPJS. Meskipun BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik, namun prinsip-prinsip korporasi tetap dijadikan tata dasar kelolanya. Hal inj ditunjukkan antara lain pada UU No: 24 Tahun 2011 pasal 11 tentang wewenang BPJS, yaitu, "menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

Akhirnya konsep tata kelolanya dikembangkan dengan model logika pasar. Supaya jalan mekanisme ini fungsi negara hanya sebagai regulator saja. Gak boleh ikut-ikutan. Biar pasar yang menentukan.  Harga pasar hari ini? Tinggi kan? Karena banyak yang bermain? Lalu bagaimana rakyat atas kebutuhan pokoknya yaitu kesehatan? Ya bayar! Kalau mau bagus bayar mahal ya! Kalau tidak ada uang banyak, pelayanan sekedarnya ya! Atau ayo ikut asuransi yang diwadahi negara. Tapi jangan lupa, bayar premi seumur hidup. Jangan tidak bayar lho ya, nanti ada hukumannya lho! Karena mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat bersifat wajib.

====

Begitu, Genks. Ngeri banget ya.  Lalu emang, kalau sudah begitu apa pelayanan kesehatan di negeri ini optimal? Taruhlah walau dengan terpaksa menaikkan iuran 2x lipat? Dan juga dengan menunjul 3200 tenaga penagih iuran door to door? Apa ada jaminan dengan begitu pelayanan kesehatan akan menjadi baik dan memadai?

Iming-iming jika menjadi peserta BPJS- Kesehatan maka bisa berobat dimanapun, ternyata faktanya zonk. Banyak sekali pembatasan. Iya, kalau pilek doang, gak harus ke RS. Atau sakit maag aja,  nggak perlu ke RS. Tapi kalau sakit maag sudah kronis, parah banget kenapa nggak boleh RS? Dan banyaklah.

Saya pernah mendapat keluhan begini dari dokter faskes 1. Para dokter ini bingung, karena tidak bisa merujuk padahal kondisi pasien parah. Ya, semata-mata karena jenis penyakitnya termasuk yang bertinta merah. Jadi harus diselesaikan di faskes 1. Terus bukan hal aneh lagi kalau ada dokter yang terpaksa mengganti obat yang seharusnya diberikan pada pasien padahal obat itu cocok untuk pasien tersebut hanya karena obat itu tidak terdaftar dalam BPJS. Dan tentu banyak hal lain yang sering kita dengar dan lihat tentang buruknya pelayanan akibat regulasi ketat BPJS-Kesehatan yang membahayakan pasien sampai pada risiko kematian.

Hal ini dikarenakan pelayanan kesehatan pada regulasi BPJS diselesaikan optimal di tingkat primer. Dokter pelayanan primer harus kompeten menegakkan diagnosis dengan cepat dan tepat. Kemudian dilanjutkan dengan pengobatan yang cepat dan tepat. Tapi ini menjadi sulit karena fasilitas pengobatan di tingkat primer ini kurang dalam jumlah puluhan ribu.

Pelayanan kesehatan yang berjenjang pada sistem kapitalistik pun kadang menjadikan masalah. Karena bagaimanapun kasus sakit pada masing-masing pasien tidak selalu bisa disamakan untuk penyakit yang sama sekalipun.

Sistem rujukan menjadikan ada waktu tunggu padahal ada beberapa sakit yang waktu darurat kematiannya dalam hitungan detik. Dan jika tidak  mau mengikuti prosedur maka harus membayar sendiri.

====

Jadi buat siapa aja yang berani-beraninya bilang, kalau mau gratis ya kelas III", atau juga mengatakan, "masih untung digratiskan pemerintah". Silakan 'nyebur' ke laut. Enak aja ngomong gitu. Bagaimanapun pelayanan  kesehatan gratis dan berkualitas itu kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi oleh negara.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama