Oleh: Ayu Fitria Hasanah S.Pd
(Pemerhati pendidikan & sosial politik)
Aksi panas “bubarkan DPR” yang dilakukan oleh mahasiswa ataupun masyarakat sejak 25 agustus 2025 adalah hasil dari ketidakadilan, kedzaliman yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Kemarahan dan geramnya masyarakat ini merupakan kepastian setelah secara beruntun para penguasa atau pemimpin menunjukkan berbagai kebijakan yang membuat masyarakat bertanya, “apakah para pemimpin ini memiliki hati, cinta dan kepedulian kepada rakyatnya?” sebut saja kebijakan ATM yang dibekukan, MBG yang berpolemik, kenaikan pajak, gaji dan tunjangan DPR yang selangit, sedang rakyatnya harus berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus beban pajak yang harus ditanggung. Sungguh tidak terlihat hubungan penguasa dan rakyat yang saling berkasih sayang, padahal dalam hadist dinyatakan "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." (Hadits riwayat Imam Muslim)”.
Tuntutan dari aksi ini tidak akan pernah bisa diwujudkan selama tetap menggunakan sistem politik demokrasi, karena dalam sistem politik ini ada pembagian kekuasaan yaitu Trias Politika. Konsep yang dipopulerkan oleh Montesquieu ini bertujuan mencegah pemusatan kekuasaan dengan membaginya ke dalam tiga cabang: eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembentuk undang-undang), dan yudikatif (pengadil pelanggaran undang-undang). Indonesia tidak mengadopsi konsep ini sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power), melainkan sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power). DPR sebagai lembaga yang mandatnya dijamin langsung oleh UUD 1945, memiliki kedudukan setara, dan dipilih langsung oleh rakyat dalam sistem presidensial, eksistensi DPR bersifat permanen selama masa jabatannya. Upaya pembubaran oleh eksekutif akan dianggap inkonstitusional. Inilah realitas kekuasaan dalam demokrasi.
Jika dilihat dari realitas pemilihan pemimpin termasuk di dalamnya pemilihan DPR dalam politik demokrasi, pemimpin dipilih berdasarkan popularitas, citra, bukan berdasarkan kapasitas atau kemampuan memimpin, ketaqwaan, kekuatan akal/intelektualnya. Selain itu sudah menjadi rahasia umum betapa mahalnya biaya kampanye untuk sebuah tugas/amanah yang sebetulnya pertanggungjawabannya besar tetapi diperebutkan begitu luar biasa. Tentu ini karena apa yang bisa didapatkan dari kekuasan ini juga luar biasa, setidaknya tentu bisa mengembalikan biaya kampanye. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang ada selama ini.
Oleh karena itu, harus dipahami bahwa konsep sistem politik demokrasi adalah konsep yang dicetuskan/lahir dari akal manusia yang lemah, terbatas dan sarat kepentingan, batil diambil oleh orang-orang beriman. Berikut berbagai prinsip-prinsip demokrasi seperti pembagian kekuasaan, metode pemilihan pemimpin, syarat calon pemimpin, proses pembentukan UU, semua ini adalah konsep pengaturan yang dibuat oleh manusia. Padahal hak untuk membuat hukum hanyalah milik Allah “Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik” (Al An’am 57).
Maka jika menginginkan keberkahan dan kesejahteraan, pengaturan yang adil, harus Kembali kepada sistem politik Islam yang lahir dari Allah, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai konsep pengaturan hidup, mulai dari sistem politik, ekonomi, Pendidikan, sanksi, dan secara praktis sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Sistem aturan hidup Islam bersifat universal, dapat diterima dan diterapkan sekalipun kepada non muslim, mereka secara Aqidah dibebaskan hanya saja untuk pengaturan ekonomi, politik dll menggunakan Islam.[]