Pajak, Zakat, dan Wakaf: Kapitalisme Menyekik, Islam Menyejahterakan

 



Oleh : Ummu Aqila


Di tengah gempuran kapitalisme global, perdebatan mengenai posisi pajak, zakat, dan wakaf kembali mencuat. Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf (CNBC Indonesia, 2023) menjadi sorotan publik. Pernyataan ini jelas dimaksudkan untuk menggenjot penerimaan pajak yang terus seret, sekaligus melegitimasi posisi pajak agar tampak setara dengan instrumen ibadah dalam Islam. Pernyataan tersebut memantik diskusi serius. Di satu sisi, ia lahir dari kegelisahan pemerintah atas penerimaan pajak yang kian menurun (CNN Indonesia, 26/8/2025).


Pernyataan Menkeu Sri Mulyani bahwa kewajiban pajak sama dengan zakat dan wakaf tentu mengundang tanda tanya besar. Benarkah pajak bisa disamakan dengan zakat dan wakaf? Apakah sistem pajak kapitalistik yang membebani rakyat bisa disejajarkan dengan sistem keuangan Islam yang bersumber dari wahyu dan menyejahterakan umat?


Faktanya, pernyataan itu muncul bukan dalam ruang kosong. Ia lahir di tengah seretnya penerimaan pajak negara. Pajak memang masih menjadi tulang punggung utama APBN. Tak heran, pemerintah terus mencari sumber pajak baru—dari pajak karbon, pajak warisan, hingga pajak rumah ketiga. Ironisnya, yang sudah ada pun dinaikkan berkali-kali lipat, seperti PBB. Rakyat makin dicekik, sementara para pengusaha besar tetap mendapat fasilitas dan keringanan.


Inilah wajah asli kapitalisme: sistem yang menjadikan pajak sebagai alat memeras rakyat, sekaligus menyerahkan sumber daya alam (SDA) strategis kepada swasta dan korporasi asing. Air, listrik, tambang, hutan, bahkan BBM—semuanya dikuasai segelintir kapitalis. Negara hanya bertindak sebagai "pemungut pajak", bukan pengurus urusan rakyat.


Akibatnya jelas. Rakyat kecil makin miskin, sementara kaum kapitalis makin kaya. Data menunjukkan rasio gini Indonesia stagnan di kisaran 0,38–0,39, menandakan kesenjangan ekonomi yang akut. Semua ini adalah buah pahit dari sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini.


Pajak Kapitalisme: Instrumen Penindasan


Dalam sistem kapitalis, pajak menjadi instrumen vital. Mengapa? Karena negara kehilangan kemandirian dalam mengelola kekayaan alam. SDA yang semestinya dikelola negara untuk kemakmuran rakyat justru diserahkan kepada korporasi. Padahal, dalam satu tambang nikel atau emas saja, potensi yang bisa dihasilkan bernilai triliunan rupiah.


Ketika kekayaan alam dikeruk oleh swasta dan asing, APBN pun defisit. Untuk menutupnya, pemerintah menempuh dua jalan: utang dan pajak. Utang jelas melahirkan ketergantungan pada lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, atau investor asing. Sedangkan pajak, membebani langsung pundak rakyat.


Di sisi lain, pajak kapitalistik seringkali tidak transparan penggunaannya. Rakyat dipaksa membayar, tapi dana itu banyak bocor untuk korupsi, subsidi bagi korporasi, bahkan untuk membiayai proyek mercusuar yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Maka jelas, pajak dalam sistem kapitalisme bukan instrumen kesejahteraan, melainkan instrumen penindasan.


Zakat dan Wakaf dalam Islam: Solusi Hakiki


Bandingkan dengan Islam. Islam memiliki instrumen keuangan yang jelas: zakat, jizyah, kharaj, usyur, ghanimah, fai’, khumus, hingga wakaf. Semua memiliki landasan syar’i dan mekanisme distribusi yang adil.


Zakat, misalnya, diwajibkan Allah dalam QS. At-Taubah: 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka...”


Zakat bukan pungutan sewenang-wenang. Ia memiliki nisab, haul, dan kadar yang pasti. Subjeknya jelas, objeknya terbatas, dan mustahiknya delapan golongan sebagaimana QS. At-Taubah: 60. Tidak ada yang dizalimi.


Wakaf, di sisi lain, adalah amal jariyah yang mengalirkan manfaat tanpa memaksa. Dalam sejarah, wakaf menjadi pilar peradaban Islam: membangun rumah sakit, madrasah, jalan, bahkan irigasi pertanian. Semua itu berlangsung berabad-abad tanpa pungutan pajak kapitalistik.


Yang lebih penting: Islam tidak menyerahkan SDA kepada swasta. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud).


Artinya, SDA strategis adalah milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Dengan pengelolaan ini, negara tidak perlu mengandalkan pajak untuk membiayai pembangunan.


Sistem Islam Menjamin Kesejahteraan


Sejarah membuktikan, di bawah sistem Islam (Khilafah), baitul mal mengelola harta umat secara adil dan transparan. Pajak (dharibah) hanya diberlakukan dalam kondisi darurat, itupun terbatas, sementara zakat dan pengelolaan SDA menjadi sumber utama.


Di masa Umar bin Abdul Aziz, zakat sampai sulit disalurkan karena tidak ada lagi rakyat miskin yang berhak menerima. Itulah bukti nyata, bahwa sistem Islam menyejahterakan, bukan menindas.


Bandingkan dengan kondisi hari ini. Pajak terus dinaikkan, tapi rakyat tetap miskin. SDA dikuasai asing, tapi negara tetap berutang. Anggaran triliunan menguap, tapi pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja tetap sulit diakses rakyat.


Menyamakan pajak kapitalistik dengan zakat dan wakaf adalah bentuk penyesatan logika. Zakat dan wakaf bersumber dari wahyu Allah, sementara pajak kapitalistik adalah alat eksploitasi rakyat.


Sudah saatnya umat menyadari bahwa solusi hakiki bukan pada tambal-sulam pajak, melainkan pada penerapan sistem Islam secara kaffah. Sistem yang menjadikan zakat dan wakaf sebagai instrumen utama, serta mengelola SDA untuk kepentingan umat, bukan korporasi.


Kapitalisme hanya melahirkan kesenjangan dan penindasan. Islam menawarkan keadilan dan kesejahteraan. Maka, pilihan ada di tangan kita: tetap terjebak dalam belenggu kapitalisme, atau bangkit bersama Islam untuk menegakkan keadilan sejati.


Wallahualam bishshowab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم