Oleh: Miftah Karimah Syahidah (Aktivis BMIC Jember)
Warga Perumahan Bumi Mangli Permai, Kelurahan Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Jember, digemparkan penemuan makam bayi di halaman belakang rumah kontrakan, pada Selasa (22/7/2025) siang. Penemuan makam bayi ini berawal saat warga yang curiga terhadap rumah tersebut melakukan penggerebekan. Warga curiga lantaran rumah tersebut kerap disewakan kepada pasangan muda-mudi Bahkan, pasangan muda-mudi ini bisa menyewa rumah per jam.
(https://portaljtv.com/news/geger-makam-bayi-ditemukan-di-rumah-kontrakan-mahasiswa-jember?biro=portal-jtv)
Tak hanya di kota santri, fenomena kumpu kebo di kota pelajar (Malang), juga tak kalah ngeri. Hasil investigasi TIMES Indonesia, yang dilakukan sebulan lamanya, telah menemukan praktik perilaku “haram” yang dilakukan oknum mahasiswa, yang ngekost atau kontrak rumah di beberapa kecamatan di Kota Malang.
Fenomena kumpul kebo, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, memang sudah menjadi rahasia umum di kota pelajar ini. Tidak hanya terjadi di rumah kontrakan di kawasan perumahan. Ada juga di rumah kontrakan di kampung, rumah kontrakan milik warga dan ada yang kos-kosan bebas. Data dari pihak Satpol PP Kota Malang, sudah ada 31 mahasiswa dan pasangan bukan suami istri, sudah terciduk dalam penggerebekan rumah kos, di Jalan Sigura-gura, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Penggerebekan itu berlangsung pada Kamis malam, 27 Februari 2025.
Fenomena ini menjadi bukti bahwa Seks bebas kini menjadi hal yang lumrah di kalangan remaja hingga dewasa, termasuk di Indonesia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, hubungan seks luar nikah remaja 15-19 tahun mengalami peningkatan. Kasus pada perempuan usia 15-19 tahun sebanyak 59%, sedangkan pada laki-laki 74%.
Namun, anehnya di tengah maraknya fenomena seks bebas yang semakin mengkhawatirkan, pemerintah justru terus mengkampanyekan stop pernikahan dini. Tentu hal ini sangat kotradiktif dengan realita. Pasalnya, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan, 80% dari permohonan dispensasi nikah terjadi karena kasus hamil di luar nikah. Artinya, jika setiap tahun angka dispensasi nikah di atas 50.000, maka jumlah remaja perempuan di bawah 19 tahun yang hamil di luar nikah mencapai 40.000 orang. Selain itu, BKKBN mengungkapkan tren pernikahan dini menurun, tetapi kabar buruknya tren hubungan seksual remaja meningkat.
(https://www.cnbcindonesia.com/research/20240813122456-128-562643/warga-ri-ogah-nikah-muda-lebih-pilih-seks-bebas)
Semua fenomena di atas jelas menunjukkan ada problem besar yang sedang dihadapi bangsa ini. Problem ini tentu tidak saling berdiri sendiri melainkan sudah menjadi problem sistemis yang solusinya juga harus sistemis. Dan tentu saja harus segera diatasi mengingat visi besar Indonesia emas 2045.
Seks education, Solusi Liberal ala Barat
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memang tengah menaruh perhatian serius terhadap tingginya tingkat kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja di Indonesia.
Hasto mengatakan kejadian itu karena kurangnya pengetahuan tentang seks pada remaja. Oleh karena itu, ia menegaskan, BKKBN akan terus berupaya memberikan pendidikan seks melalui generasi sebaya, yakni dengan Program Generasi Berencana (GenRe). Hasto Wardoyo Kepala BKKBN berharap, pemerintah dan masyarakat bekerjasama dan bekerja keras untuk memberikan edukasi terbaik kepada remaja, agar terhindar dari perilaku free sex atau seks bebas.
Di sinilah kesalahan fatalnya, negara berusaha menyelesaikan masalah seks bebas dengan pendidikan seks ala Barat. Pasalnya, di Eropa, sudah lebih dari setengah abad pendidikan seksual diterapkan menjadi salah satu subjek dalam kurikulum sekolah. Bermulai dari Swedia pada tahun 1956 yang kemudian terus meluas hingga tahun 2000-an ke Prancis, Inggris Raya, Spanyol, Estonia, Ukraina, Irlandia, dan masih banyak lagi. Tahun 2009, secara resmi, pendidikan seksual dirumuskan dengan nama Comprehensive Sexuality Education. Kamus Merriam-Webster mendefinisikan Sex education sebagai pengajaran tentang pendidikan seks yang dilakukan di sekolah. Sementara dalam terma berbeda—sexuality education—diartikan sebagai proses mempelajari aspek-aspek kognitif, emosional, sosial, interaktif, dan fisik dari seksualitas. Tujuannya untuk mengembangkan dan memperkuat kemampuan anak-anak dan remaja dalam membuat pilihan secara sadar, memuaskan, sehat, dan saling menghormati mengenai hubungan, seksualitas, dan kesehatan emosional maupun fisiknya.
Hal ini wajar, karena sex education yang diaruskan oleh barat memang diadakannya bukan untuk mencegah perzinahan, tapi mengajarkan generasi untuk melakukan seks dengan aman. Arahan mengenai seks aman justru melahirkan kesan kentalnya gaya hidup bebas. Generasi seolah bebas memilih cara aman untuk melampiaskan syahwatnya. Konsep seks aman ini telah memfasilitasi remaja untuk larut dalam pergaulan bebas dan seks bebas asal tidak berujung kehamilan. Cara berpikir seperti ini sama sekali tidak berorientasi pada upaya mewujudkan generasi sehat dan berkualitas. Sebaliknya, konsep liberal akan menggiring generasi menuju pada kehancuran.
Dari sini, harusnya disadari bahwa pangkal dari semua ini adalah karena diterapkannya sistem sekuler liberal. Sistem yang mendewakan kebebasan dan menjadikan kebahagiaan berdasarkan capaian materi ini terbukti telah melahirkan individu-individu yang ketakwaannya lemah, masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan, asing dengan tradisi amar makruf nahi mungkar; serta negara yang abai terhadap tupoksinya sebagai pengurus dan penjaga umat, baik dalam urusan dunia, apalagi urusan akhirat rakyat. Hal itu tersebab sekularisme yang melandasinya yang memang menolak kehadiran agama sebagai tuntunan kehidupan. Akibatnya, lahirlah berbagai aturan kehidupan yang serba rusak dan merusak. Alih-alih mampu menyolusi berbagai problem kehidupan manusia, aturan-aturan tersebut justru terus memproduksi masalah baru yang tidak pernah mampu diselesaikan.
Semua itu memang sejalan dengan prinsip kebebasan yang inheren dengan paham sekuler liberal dan dalam praktiknya wajib diberi ruang besar oleh negara karena dianggap sebagai bagian hak asasi manusia. Alhasil, pergaulan masyarakat berjalan tanpa batasan. Spirit kerja sama membangun peradaban hilang tertutup dorongan hawa nafsu yang dilegalkan. Wajar jika merebak berbagai problem dekadensi moral yang potretnya sudah digambarkan.
Butuh Sistem Kondusif
Menakar akar masalah yang menjadi penyebab maraknya fenomena seks bebas, sex education yang sedang diaruskan oleh negara tentu bukanlah solusi. Selama generasi terus berada dalam arus budaya liberal sebut saja film, syair lagu, hingga iklan, yang semua menghadirkan stimulus yang meneror, bahkan mengontrol pikiran generasi. Sedangkan, pada saat yang sama, justru agama sengaja dijauhkan dari kurikulum pendidikan sehingga generasi tak punya pegangan dalam menentukan halal dan haram. Gejolak usia muda pada akhirnya teraktualisasi secara liar tanpa batas.
Karenanya butuh kerja sama berbagai elemen. Institusi terkecil—dalam hal ini keluarga—berperan besar dalam menyiapkan pendidikan anak sesuai fase usia mereka. Keluarga akan memaksimalkan pola pengasuhan sesuai jenis kelamin anak. Pola ini akan membentuk pemahaman mengenai konsekuensi hukum pada setiap fase usia manusia, mulai dari usia dini, mumayiz, prabalig, balig, hingga menikah.
Pendidikan ini didukung kurikulum pendidikan yang negara terapkan secara formal yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam yang mampu mengharmonisasikan pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Ditambah lagi negara akan menutup semua konten-konten yang dapat merangsang syahwat, sehingga naluri na’u tidak akan terangsang.
Sementara jika zina telah dilakukan, maka pelakunya akan dikenai sanksi (hukuman). Bagi yang belum menikah (ghairu muhsan) dicambuk seratus kali dan yang sudah menikah (muhsan) dirajam hingga mati. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus siksa akhirat) dan jawazir (pencegah terjadinya tindak kriminal agar tidak terulang).
Dari sini Jelas, bahwa Islam memiliki solusi solutif untuk mengatasi perzinahan. Islam adalah problem solver kehidupan manusia, bukan sumber masalah seperti yang hari ini diopinikan. Oleh karena itu, Islam harus dikenalkan sejak dini kepada generasi, baik melalui institusi terkecil yakni keluarga hingga penerapan seluruh syariah kaffah dalam sistem khilafah. Bukan justru dijauhkan dari generasi lewat proyek moderasi agama yang justru melahirkan generasi muslim moderat yang membebek pada gaya hidup barat yang rusak dan merusak.