Oleh : Sumiati (Aktivis Dakwah Kalsel)
Indonesia dinilai berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual, tak terkecuali di Kalsel. Kekerasan seksual adalah kejahatan yang sangat serius. Kekerasan ini bahkan sering terjadi di tempat yang seharusnya aman, seperti rumah dan sekolah.
Dinas DPPPAKB Kalsel melaporkan sebanyak 204 kasus kekerasan perempuan dan anak telah tercatat hingga 10 April 2025. Dari semua kasus tersebut, yang paling banyak yaitu kekerasan psikis, diikuti kekerasan seksual dan fisik (Tribunnews, 26/4/2025).
Secara nasional, hingga April 2025, data dari KemenPPPA ada 5.949 kasus kekerasan pada perempuan, 15 diantaranya kekerasan seksual. Lebih rinci disebutkan dalam data Polri, sampai April 2025, ada 153 kasus kekerasan seksual dan pornografi dengan jumlah korban 354 orang dan pelaku 390 orang (Tribunews 26/4/2025).
Melihat data ini, maka wilayah Kalsel layak disebut sebagai wilayah darurat pelecehan seksual. Dalam empat bulan terakhir saja, ada sejumlah kasus yang terjadi, seperti pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di Kecamatan Gambut. Kemudian, kasus kejahatan seksual pada anak dengan modus sebagai joki game online, dan ada pula kasus pelecehan seksual oleh oknum ASN Pemprov Kalsel terhadap tenaga kesehatan di Banjarbaru (Tribunews, 26/4/2025).
Sebagai tanggapan atas situasi ini, DPPPAKB Kalsel mengadakan kegiatan pelatihan peningkatan SDA, bagi petugas yang menangani kasus kekerasan seksual. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tenaga layanan dalam pencegahan, penanganan tindak pidana kekerasan seksual, serta memastikan korban tidak mengalami reviktimisasi. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 12/2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan PERDA Prov. Kalsel No. 11/2028 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Lalu apakah upaya ini efektif untuk mengatasi kekerasan seksual?
Apabila kita amati, kasus kekerasan seksual tak ada matinya, satu tertangkap, bermunculan kasus-kasus lainnya. Tidak sedikit juga yang enggan melaporkan kasusnya. Fenomena ini bagaikan gunung es, yang terlihat hanya sebagian kecil dari masalah sebenarnya.
Padahal sebagai negeri yang mayoritas beragama muslim, kita patut bertanya, mengapa hal ini terjadi? Jawabannya tidak lain karena diterapkannya sistem sekularisme liberalisme. Sistem ini adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan prinsip-prinsip sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dan negara, dengan nilai-nilai liberalisme, yang menekankan kebebasan individu dan hak asasi manusia.
Alhasil warganya bebas berperilaku tanpa mempertimbangkan halal dan haram. Dampaknya ialah konten pornografi membanjiri lingkungan masyarakat. Bahkan, sejak tahun 2005 Indonesia termasuk sepuluh besar pengakses situs porno di dunia. Padahal, situs ini terbukti menjadi pemicu perilaku seks bebas, termasuk kekerasan seksual.
Di sisi lain, masyarakat makin permisif. Contohnya, Interaksi bebas antara pria dan wanita dianggap normal. Padahal ini menjadi peluang zina dan terjadinya kekerasan seksual.
Selain itu, perempuan juga sejak lama dieksploitasi, seperti melalui kontes modeling, kecantikan, iklan, dsb. Ini menjadikan perempuan dianggap sebagai tempat pelampiasan hawa nafsu lelaki.
Sementara itu, penegakan hukum justru telah gagal melindungi perempuan dan anak. Banyak korban yang trauma dan takut melapor. Para pelaku seringkali mendapatkan sanksi ringan. Bahkan, banyak yang diselesaikan dengan jalur damai.
Ini membuktikan bahwa sistem yang diterapkan saat ini tidak mampu mengatasi kekerasan seksual pada anak dan perempuan. Oleh karenanya kita harus kembali kepada sistem yang benar, yaitu sistem Islam. Sistem ini memberikan kesetaraan bagi pria dan wanita dalam keimanan, ketakwaan, dan timbangan hukum.
Islam menjadikan iman dan takwa sebagai landasan hubungan antara pria dan wanita. Islam menghindarkan kaumnya dari perilaku permisif, hedonis, dan menuhankan hawa nafsu. Islam juga memberikan upaya preventif (pencegahan) dan kuratif (penanganan) untuk melindungi perempuan dan anak. Hukum preventif tersebut yang pertama, mewajibkan pria dan wanita menutup aurat di kehidupan umum dan menjaga pandangan.
Kedua, Islam mengharamkan pria dan wanita yang bukan mahram berdua-duaan, karena dapat menjadi peluang terjadinya kekerasan seksual. Islam juga mengharamkan campur baur pria dan wanita, kecuali untuk muamalah, pengobatan, dan pendidikan.
Ketiga, Islam mengharamkan tindakan eksploitasi terhadap perempuan. Begitu juga haram mempekerjakan perempuan dengan cara mengeksploitasi tubuh dan penampilannya.
Selain tindak preventif, Islam juga memberikan sanksi keras bagi pelaku kekerasan seksual, pelaku yang melakukan eksploitasi, termasuk pihak yang memproduksi konten pornografi. Pelaku akan diberikan sanksi takzîr. Jenis dan berat sanksinya diserahkan kepada kadi (hakim).
Sanksi juga akan dikenakan pada pelaku pelecehan seksual, seperti pelecehan verbal, menyentuh, meraba, mengintip, dll. Kadi akan memvonis hukumannya bergantung pada tingkat kejahatan tersebut.
Adapun bagi pelaku yang melakukan pemerkosaan, sanksi yang diberikan akan lebih berat. Jika pelakunya adalah lelaki yang belum menikah, sanksinya adalah hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Jika pelakunya terkategori sudah pernah menikah, sanksinya adalah hukum rajam hingga mati. Sanksi ini bisa lebih berat bila pelaku melakukan penculikan dan penganiayaan terhadap korban.
Adapun korban, ia wajib diberikan perlindungan, perawatan fisik maupun mental hingga pulih oleh negara.
Inilah cara sistem Islam melindungi perempuan dan anak. Tidak ada perlindungan dan jalan keluar terbaik, kecuali dengan menerapkan sistem kehidupan Islam, Hukum yang dijelaskan di atas hanya bisa diterapkan di dalam sistem Islam, yakni Khilafah Islamiah.
WalLâhua’lam biashshawâb.