Legalitas Budidaya Ganja Bukti Kegagalan Sistem Kapitalis

 


Oleh: Puji Ariyanti

(Pegiat Literasi)


Tanaman ganja menjadi kontroversi setelah Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkannya sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan. Keputusan tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (Kepmentan) Nomor 104 Tahun 2020 tentang Komoditas obat Binaan. Keppres itu diteken Mentan Syahrul Yasin Limpo sejak 3/2/2020 lalu. Setelah menjadi polemik di publik, Kementan pun menyatakan Keppres itu akan dicabut sementara untuk dievaluasi.


Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha mengungkapkan bahwa pencabutan putusan tersebut untuk dikaji kembali dan segera akan melakukan revisi dengan stakeholder terkait, yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). (nasional.kompas.com, 30/8/2020).


Tanaman ganja yang telah ditetapkan sebagai salah satu jenis narkotika golongan I yang menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 dilarang, digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Lantas mengapa Mentan akan melegalkan ganja sebagai komoditas obat? Apa yang mendasari langkah tersebut dengan melegalkan ganja sebagai tanaman obat? Bukankah Indonesia negeri yang kaya. Aneka tumbuhan obat tumbuh subur di hutan-hutan. Mengapa harus ganja? "Ide melegalkan ganja apapun peruntukannya, misalnya seperti yang baru-baru ini untuk pengobatan, apalagi tidak/belum memiliki payung hukum yaitu undang-undang baru yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang sebelumnya atau yang lain, tentu ini sangat disayangkan", kata Yenti Garnasih Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupi), seperti dikutip pikiran rakyat-bekasi.com (Antara2/9/'20).


Meski ganja secara umum adalah barang terlarang, tetapi ya itu tadi, bisa menjadi legal asal untuk tujuan tertentu. Buktinya, Badan Pusat Statistik (BPS) punya catatan ekspor-impor produk turunan tanaman yang punya nama julukan cimeng tersebut. Demikian menurut Kementan. (CNBC Indonesia 30/8/' 20)


Fatwa haramnya ganja sejak lama dikeluarkan MUI. MUI menegaskan bahwa ganja termasuk barang haram. "Kalau barang yang haram itu dijual beli juga haram. Artinya, kalau ada usul untuk ekspor, ya haram semua. Ndak boleh, ndak diperbolehkan," kata Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI, Noor Ahmad kepada wartawan. (detiknews 1/2/2020).


Noor Ahmad menegaskan segala sesuatu yang telah diharamkan tidak boleh dimanfaatkan. Menurut Noor, masih banyak tanaman halal yang manfaatnya sama seperti ganja.


"Kita tidak boleh bermain-main di sesuatu yang toh sudah dilarang. Kalau alasan untuk pengobatan,  termasuk juga untuk kecantikan dan sebagainya. Yang halal masih banyak dan barang haram seperti halnya ganja juga banyak. Artinya bukan hanya ganja saja kalau hanya untuk kecantikan dan untuk pengobatan" sambungnya.


Sistem sekuler menghasilkan kebijakan yang plinplan. Hal ini semakin nenegaskan adanya ketidakmampuan pemerintah menjamin terwujudnya rasa aman sekaligus kemaslahatan fisik rakyat. Kebijakan yang tidak jelas sering membingungkan publik. Bukan hal baru bagi para pejabat. Jika ada kontroversi ditengah masyarakat alasan klasik akan muncul.  Penundaan sementara dan melakukan kajian ulang serta revisi. Inilah bentuk ketidakmampuan mereka dalam melakukan urusan rakyatnya.


Saai ini kapitalis-sekuler memandang dari sisi ekonomi narkoba sangatlah menguntungkan secara materi. Jadi sah-sah saja diproduksi selama ada permintaan pasar. 


Jika demikian apa jadinya dengan kehidupan masyarakat ketika ganja dilegalkan dan dijadikan komoditas obat. Hal yang pasti adalah kehancuran masyarakat. Pengguna narkotika akan semakin merajalela. Ditengah sempitnya iman dan takwa  narkotika akan menjadi teman setia dikala hati gundah gulana.


Dalam Islam, narkotika dan obat-obatan terlarang seperti ganja, heroin, dan lainnya disebut dengan istilah mukhaddirat (narkotik). Hukum mengonsumsi benda-benda ini apapun bentuknya telah disepakati keharamannya oleh para ulama. Tak ada satupun ulama yang menyelisihkan keharaman mukahddirat tersebut (jakarta, kompas.com 6/9/'20).


Para ulama mengqiyaskan hukum mukhaddirat pada hukum khamar. Mereka berdalil dengan hadis yang dikemukakan Umar bin Khattab RA, "Khamar adalah segala sesuatu yang menutup akal." (HR Bukhari Muslim). Jadi, narkotika masuk dalam cakupan definisi khamar seperti yang disebutkan Umar bin Khattab.


Akan jadi generasi maca apa bangsa ini? Jika generasinya menjadi generasi pemabuk. 

Wallahu'alam Bissawab.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama