Charlie Hebdo Kembali Beraksi, Kebebasan Demokrasi Hanya Ilusi

 


Oleh: Anita Ummu Taqillah (Anggota Komunitas Setajam Pena)


Dilansir dari republika.co.id (3/9/2020), Lima setengah tahun setelah ekstremis menembak mati belasan orang dalam serangan terhadap kantor mingguan Prancis Charlie Hebdo, surat kabar satir Prancis Charlie Hebdo, Selasa lalu mengumumkan bahwa mereka akan mencetak ulang kartun Nabi Muhammad SAW yang tampaknya dahulu memicu serangan itu.


Direktur penerbitan Laurent "Riss" Sourisseau, yang terluka dalam serangan itu menyatakan, "Kami tidak akan menyerah. Kebencian yang melanda kami masih ada, dan sejak 2015, perlu waktu untuk bermutasi, mengubah penampilannya, untuk tidak diperhatikan dan diam-diam melanjutkan perang salib yang kejam,'' katanya.


/Kebebasan ala Demokrasi Hanya Ilusi/

Permusuhan terhadap Islam akan selalu mereka gaungkan atas nama kebebasan berekspresi. Meski tak dapat dipungkiri, kebebasan itu tak berlaku sebaliknya, tak berlaku untuk Islam dan pemeluknya. Karena di sisi lain, umat Islam yang protes dengan penggambaran Nabi Muhammad saw. tak pernah didengar. Tak pernah dihargai pendapatnya.


Faktanya, kejadian seperti ini kembali berulang. Meski tahun-tahun sebelumnya sudah banyak menuai kecaman dan protes dari umat Islam di dunia, namun kembali dilakukan. 


Kali inipun banyak kecaman dan unjuk rasa. Seperti dilansir tempo.co (3/9/2020), unjuk rasa besar-besaran yang diikuti oleh puluhan ribuan orang kembali terjadi di Pakistan. Aksi protes pada Senin, 7 September 2020 itu untuk memprotes tindakan majalah asal Prancis, Charlie Hebdo, yang mencetak ulang kartun Nabi Muhammad SAW untuk memperingati di mulainya persidangan serangan teror pada 2015 lalu.


Tindakan majalah Charlie Hebdo juga memancing kemarahan dari negara-negara Islam lainnya. Pada selasa, 8 September 2020, Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyebut ada kemunculan kembali dosa yang tak termaafkan. Kondisi ini memperlihatkan pula adanya permusuhan dan dendam kesumat terhadap Islam di Barat.


Pemerintah Indonesia juga mengecam keras kejadian tersebut. Kecaman datang dari Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, yang meneyebut tindakan itu sebagai "tidak bertanggungjawab, provokatif, dan melukai ratusan juta umat Muslim di dunia," jelasnya. Komentar itu juga dialamatkan terhadap insiden pembakaran dan perusakan Al Quran di Swedia dan Denmark.


/Negara Demokrasi Hanya Mampu Mengecam/

Kecaman demi kecaman, itulah yang mampu negara-negara yang mengaku pengusung demokrasi. Meskipun mayoritas penduduknya muslim dan menginginkan hukuman yang setimpal untuk penghina Nabi Muhammad saw, namun faktanya negara-negara tersebut tak bergeming. Mereka tak mampu menekan atau memberi hukuman yang setimpal, hanya mampu mengecam tanpa tindakan yang nyata.


Begitulah realitas negara demokrasi. Sekat-sekat nasionalisme menjadikan gerak mereka terbatas. Dengan dalih menghargai hukum masing-masing negara, mereka hanya mengecam dan berharap negara asal memberi hukuman. Atau persatuan bangsa-bangsa (PBB) bertindak secara nyata. Namun lagi, tak ada tindakan tegas dari organisasi dunia tersebut.


/Ketegasan Islam Disegani/

Seluruh ulama sepakat bahwa hukuman bagi penghinan Rasulullah saw. adalah dibunuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Sharimul Maslul, “orang yang mencela Nabi saw. baik muslim atau kafir ia wajib dibunuh. Ini adalah madzhab mayoritas ulama. Ibnu Munzir mengatakan: mayoritas ulama sepakat bahwa hukuman bagi pencela Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah dibunuh. Diantara yang berpendapat demikian adalah Malik, Al Laits, Ahmad, Ishaq, dan ini juga merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Ibnul Munzir juga berkata: dan diriwayatkan dari An Nu’man bahwa ia berpendapat pencela Nabi (jika kafir dzimmi) tidak dibunuh, karena justru mereka sudah memiliki hal yang lebih parah yaitu kesyirikan”. 


Ini juga berlaku bagi orang muslim yang belum bertaubat (menurut satu pendapat). Karena mereka dikatakan dengan “kafir sesudah beriman” sebagaimana dalam firman Allah,

“Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman". (QS. At-Taubah: 65 – 66)


Begitu pula dengan kafir, dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, “Ada seorang wanita yahudi yang menghina Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mencela beliau. Kemudian orang ini dicekik oleh seorang sahabat sampai mati. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggugurkan hukuman apapun darinya.” (HR. Abu Daud 4362 dan dinilai Jayid oleh Syaikhul Islam)


Itulah penjagaan Allah terhadap Rasulullah saw. Sungguh tegas dan jelas hukuman bagi penghinanya. Meskipun demikian, hukuman tersebut tidak boleh sembarang dilakukan. Harus seorang pemimpin atau amir yang berhak untuk melakukannya.


Untuk saat ini, para pemimpin negara tidak mampu berkutik karena sekat nasionalisme dan memang tak ada undang-undang di dunia ini terkait hal itu. Maka, hanya Khalifah lah pemimpin yang akan berhak memberlakukan hukuman mati bagi penghina Nabi saw.


Dalam Islam (Khilafah) kepemimpinan adalah terpusat pada satu pemimpin yaitu Khalifah. Sehingga, dimanapun penghinaan itu terjadi, maka Khalifah akan menindak tegas pelakunya. Jika pelaku merupakan bagian negara Khilafah, maka hukuman akan langsung dilakukan. Jika pelaku berasal dari negara lain yang terikat perjanjian, maka Khalifah akan membatalkan perjanjian dengan negara tersebut. Tetapi, jika pelaku berasal dari negara harbi, maka Khalifah akan mengirim pasukan untuk memeranginya.


Begitulah Islam dengan ketegasannya. Kebijakannya akan disegani bahkan ditakuti musuh-musuh Islam. Wallahua'lam bish-showab.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama