Mahalnya Tes Corona Jadi Ajang Komersialisasi Kesehatan



Oleh : Rina Fauziah S.Pt
(Pengamat Kebijakan Publik)

Keputusan pemerintah mengenai new normal yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat menuai ketidakselarasan dan kekecewaan. Bagaimana tidak? Di tengah pandemi ini, kebutuhan akan berpergian memang tak dapat dibendung. Kebutuhan distribusi barang, tugas kerja atau keluar kota misalnya tetap harus dijalankan. Meski negara kini menerapkan new normal dan memperbolehkan beraktivitas di luar rumah namun problem baru dimunculkan pemerintah dengan mewajibkan rapid test dan swab test negatif covid-19 bagi supir truk logistik antar kota, penumpang kereta api dan penumpang pesawat terbang yang harganya terbilang mahal ketimbang kendaraan yang digunakan untuk berpergian oleh masyarakat. Dikutip dari republika.com, rapid test dan swab test sayangnya biayanya mahal. Untuk rapid test biayanya Rp 200 ribu –Rp 500 ribu, untuk swab test Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta.

Parahnya hasil rapid test berlaku hanya 3 hari sedangkan swab test berlaku 7 hari saja setelahnya tes tidak berlaku dan masyarakat diwajibkan kembali untuk tes ulang. Selain hal tersebut, mahalnya tes dan berbelitnya aturan administrasi kesehatan telah menelan korban. seperti yang diarahkan pemerintah pasien yang akan melahirkan diwajibkan untuk tes rapid yang hasilnya keluar hingga 7 jam. Dilansir dari bbc.com, tengah ramai diberitakan seorang ibu hamil di Makassar kehilangan anaknya dalam kandungannya setelah tidak mampu  membayar swab tes sebesar Rp 2,4 juta. Padahal diketahui ibu hamil tersebut membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. kejadian tersebut menjadi faktor penyebab sang ibu kehilangan buah hatinya.

Alhasil masyarakat semakin takut untuk berobat ke rumah sakit dengan kebijakan tes corona yang mahal. Ditengah kehidupan ekonomi yang sempit, Kebutuhan makan tetap harus terpenuhi, bayar listri 2x lipat, iuran BPSJ naik, bansos tidak merata kepada rakyat yang membutuhkan, banyak pekerja yang di PHK, uang sekolah pun harus tetap bayar. rakyat masih saja harus berusaha sendiri dalam mempertahankan dirinya.

Menurut ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan bahwa tingginya angka tes corona dikarnakan pemerintah belum menentukan harga eceran tertinggi. Sehingga memungkinkan terjadi perbedaan dan harga yang mahal sebab belum ditetapkan harga yang jelas. Hal ini pun dikatakan oleh Anggota DPR 2014-2019, Bambang Haryo bahwa kondisi covid-19 justru memungkinkan permainan komersialisasi tes corona kepada masyarakat (today.line.id)

Padahal kebutuhan akan kesehatan merupakan kewajiban negara. Namun pemerintah kini seolah berlepas tangan dengan kewajiban new normalnya yang tidak selaras dengan kebutuhan rakyat. Hal ini terbukti dengan kebijakan yang diterapkan mereka yang justru menyengsarankan.

Beginilah gagalnya penerapan sistem kapitalis yang mengukur segala sesuatu dengan takaran untung dan rugi. Hal ini memang niscaya sebab sistem kapitalis lahir dari aqidah sekuler yang memisakan agama dari kehidupan. Sistem ini menafikkan adanya nilai halal dan haram malah justru mengagungkan nilai material dan kebermanfaatan.

Berbeda dengan sistem islam, sistem yang lahir dari landasan keyakinan bahwa manusia adalah hamba Allah yang diberikan pengelolaan untuk mengatur kehidupan sesuai dengan syariat Allah Ta’ala. Islam memandang bahwa kebutuhan kesehatan adalah kewajiban yang harusnya diberikan negara kepada rakyat dengan cuma-cuma atau gratis.

 Penyediaan ini merupakan kebutuhan primer rakyat yang memang harus disediakan negara. Dalam konsidi pandemi seperti ini maka negara akan memutuskan kebijakan memisahkan yang terinfeksi virus dengan yang sehat agar mereka tetap sehat dan dapat beraktivitas seperti biasa tanpa merusak perekonomian. Hal ini dilakukan negara dengan cepat dan tanggap dan jauh-jauh hari sebelum virus menyebar yakni mengkarantina wilayah pertama penyebaran dan mengetes seluruh rakyatnya untuk dapat mengetahui siapa yang sakit.

Negara juga akan menyediakan laboratorium, sekolah kedokteran, pelayan rumah sakit yang memadai dan mendorong para ilmuan untuk segara mencari vaksin. Semua tadi di sokong dengan ekonomi islamyang berasal dari kekayaan alam dan harga kepemilikan negara yang melimpah ruah sehingga dapat menghasilkan kesehatan yang memadai bagi rakyat. Waallahu’alam bishowab.[]


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama