Buramnya Keadilan ala Oligarki


Ruruh Hapsari, ST
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Setelah menunggu bertahun lamanya, kasus Novel Baswedan akhirnya disidangkan. Banyak pihak menyatakan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK ini berjalan lambat. Walaupun Jokowi sudah meminta Kapolri untuk menangkap pelaku dalam hitungan hari sedari awal penyelidikan, namun setelah memakan waktu tiga tahun barulah diproses. Selain itu hukuman yang diberikan kepada dua orang tersangka penyiraman air keras tersebut hanya satu tahun penjara.

Dikutip dari acara mata najwa, Saor Siagian penguasa hukum Novel angkat suara. Ia melihat bahwa inti masalahnya adalah pada proses peradilan yang sudah kacau, bukan hanya pada kejaksaan yang menghukumi pelaku dengan sangat ringan. Ia mengatakan, dari awal berjalannya kasus sudah banyak hal yang dirasa janggal. Antara lain kesaksian para saksi yang tidak dihadirkan ke persidangan, cara kerja polisi yang menetapkan terdakwa sebagai tersangka dan lainnya. Sehingga ia mengatakan bahwa ini merupakan persidangan sandiwara.

Pada acara yang sama, Novel berkali-kali meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan. Ia menyinggung ada orang kuat di balik kasus penyerangan terhadap dirinya. Walau tidak menyebutkan siapa, ia hanya menekankan bahwa orang kuat ini membuat kasusnya mustahil terbongkar. Novel katakan bahwa orang kuat tersebut merupakan pihak yang merasa kepentingannya terganggu oleh kerja-kerja KPK. Menurutnya, pemerintah harus segera turun tangan agar pelaku tidak semakin kuat menggangu KPK. Novel juga berkata pada liputan 6.com, bahwa ia akan terus mengajukan protes-protes sebagaimana mestinya dengan cara-cara yang benar apabila proses putusan berjalan seperti sekarang. “Bila terus seperti ini maka inilah potret hukum di Indonesia, ujarnya.

Kasus Novel Baswedan memang bukan kasus pertama yang melibatkan orang kuat negeri ini. Apalagi kasus yang sedang disidik oleh Novel saat itu adalah kasus korupsi besar. Masih banyak rentetan kasus lain yang belum terungkap dan seakan ditutup tutupi. Pelaku tidak ingin belangnya terbongkar, kursi empuk masih nyaman digunakan. Laode Ida dalam bukunya Negara Mafia menulis, Kenyataan ini jelas memperihatinkan. Dengan perubahan sisem rekrutmen penyelenggara Negara sebenarnya bisa menghadirkan dan menampilkan aktor-aktor di lingkungan eksekutif dan Legislatif yang mengemban amanah”. Dalam paragraf lainya ditulis, ”Rakyat sudah pasti mengharapkan presiden yang menindak tegas para koruptor, siapapun dia. Apakah masih menjabat Negara ataupun bekas pejabat. Harapan tinggallah harapan, masyarakat tidak mempunyai cukup energi untuk melawan.

Dalam kerangka demokrasi saat ini, apakah bisa berharap keadilan? Nyatanya hukum yang berlaku di negeri ini adalah hukum rimba. Siapa yang kuat, dia lah yang menang. Bukan yang benar, ia yang menang. Miris, bukan?

Dari sisi penegakan hukum pun, sistem demokrasi memiliki track record yang buruk, seperti kasus Novel Baswedan ini contohnya. Potret buram penegakkan hukum dalam sistem demokrasi bukanlah suatu hal yang mengagetkan. Pelopor demokrasi itu sendiri, Plato dan Aristoteles mengakui bahwasanya sistem ini sudah cacat sejak lahir. Ia sebagai sistem cacat, dipaksakan untuk hidup, maka akan tumbuh prematur dalam perjalanannya.
Sistem demokrasi sebagai buah hasil pemikiran manusia, yang memisahkan agama dari sendi kehidupan nyatanya tak memiliki aturan yang baku. Selalu berubah-ubah dan sesuai dengan kehendak oligarki yang berkuasa pada masanya. Tak heran, jika hukum yang dihasilkan pun tak akan menemui titik terangnya.

/Keadilan Dalam Islam/

Secara historis, Islam telah berhasil menorehkan kegemilangannya dalam membangun peradaban. Salah satu puncaknya, adalah dalam penerapan syariah di bidang hukum dan peradilan. Salah satu puncak peradaban Islam adalah penerapan syariah di bidang hukum dan peradilan. Keberhasilan yang gemilang ini sangat terlihat sejak Rasul hijrah ke Madinah pada tahun 622 M hingga ketika peradaban Islam jatuh ke tangan Inggris pada 1918 M. Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan memang hukum terbaik di segala zaman dan masa. Yaitu syariah islam, bukan hukum buatan manusia, seperti demokrasi sekuler saat ini (Ibnu Taimiyah, As siyasah as-Syariyah).

Keadilan dan Islam adalah satu kesatuan. Menurut Ibn Taimiyah definisi keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh Alquran dan Assunah. Sedang menurut Imam al-Qurthubi, keadilan adalah setiap apa saja yang diwajibkan baik berupa akidah Islam maupun hukum-hukumnya. Sejarah mencatat dengan tinta emas betapa keadilan dalam masyarakat Islam terwujud. Seperti kisah yang sudah melegenda yaitu sengketa baju besi antara Kholifah Ali ra dengan seorang laki-laki Yahudi. Diriwayatkan oleh Imam al Hakim, bahwa baju besi Ali ra yang saat itu menjabat sebagai Kholifah, hilang pada saat perang Jamal dan mendapatinya di tangan seorang laki-laki Yahudi. Sang Kholifah kemudian mengajukan perkara ini kepada hakim yang bernama Syuraih dengan saksi seorang bekas budaknya dan Hasan, anaknya. Dengan tegas Syuraih menolak kesaksian Hasan sang penghulu para pemuda penghuni syurga. Karena prinsip syariah dipegang teguh olah Syuraih bahwa seorang anak tidak dibenarkan menjadi saksi untuk ayahnya.   Sehingga kasus ini dimenangkan pada laki-laki Yahudi tadi. Walau yang bersengketa adalah kepala Negara dengan rakyat kecil tidak kemudian pasti dimenangkan oleh yang mempunyai kuasa.

Masih banyak kisah mulia lainnya yang menunjukkan keadilan hakiki yang ditunjukkan Islam. Keadilan semacam inilah yang diterapkan bila Islam diterapkan di tengah umat. Keadilan yang didambakan oleh bukan hanya umat Islam saja, bahkan oleh non muslim sekalipun. Wallahu alam.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama