Rezim Lalai: Indonesia Ranking 4 (Dari Bawah) Negara Teraman Dari Covid-19



Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator LENTERA)

Baru saja Pemerintah mengklaim berhasil menangani, mengendalikan dan menekan sebaran virus corona. Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman bahkan menyatakan, sekitar 67% masyarakat sangat puas terhadap kinerja Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Persentase tersebut merupakan hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia yang kemudian dijadikan rujukan oleh Fadjroel (pikiran-rakyat.com, 08/06/2020).

Menurut Fadjroel, Presiden Joko Widodo dengan kepemimpinan demokratis telah bekerja keras membangun sistem responsif terhadap pandemi demi keselamatan seluruh rakyat Indonesia. Sistem responsif tersebut diklaim mampu menciptakan keamanan secara komprehensif baik kesehatan dan perekonomian rakyat, serta keberlanjutan hidup bangsa.

Di antara bentuk sistem responsif pandemi tersebut salah satunya adalah pembentukan gugus tugas Covid 19. Presiden melibatkan BNPB, seluruh kementerian/lembaga, Polri, TNI dan pemerintahan daerah. Karenanya, menurut Fadjroel, survei Indikator menunjukkan bahwa sistem responsif pandemi yang dibangun presiden telah benar-benar bekerja (pikiran-rakyat.com, 08/06/2020).

Tapi apa hendak dikata, esok harinya, kompas.com (09/06/2020) merilis laporan Deep Knowledge Group yang dikutip oleh Forbes. Yakni daftar 100 negara teraman dari Covid-19, di mana Indonesia menempati urutan 97, alias ranking 4 dari bawah.

Sungguh, semestinya hal ini membuat Istana sadar, bahwa rezim tengah bagai menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

Mengomentari hal ini, Dr. Rini Syafri, seorang pengamat kebijakan publik dan pakar biomedik, menyatakan bahwa sebenarnya tidak satupun negara di dunia hari ini yang benar-benar aman dari amukan Covid-19, termasuk negara Swiss, sebagai negara teraman, sekalipun. Demikian juga tentunya Indonesia.

Pasalnya, menurut Dr. Rini, akar persoalan dalam hal ini adalah keberadaan peradaban kapitalisme yang memang cacat dari asasnya. Yang mana, sektor kesehatan dalam kacamata ideologi kapitalisme hanyalah bagian dari industri yang digerakan oleh uang.

Terlebih, cacatnya tata kelola itu juga terimplikasi oleh kelalaian rezim berkuasa. Hingga akibatnya, wabah meluas dengan cepat menjadi epidemi yang telah membunuh jutaan orang. Dan kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Yakni ketika penguasa mengentengkan bahaya wabah sejak dari awal kejadian hingga saat ini.

Dari sini saja sudah terindera bahwa pernyataan Istana terkait survei kepuasan publik tadi terlalu mengada-ada.

Realitanya, penguasa lebih mengutamakan kepentingan lingkaran oligarki daripada kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Yang selanjutnya, kebijakannya makin diperburuk dengan adanya konsep batil New Normal Life yang diaruskan PBB dan mendapat dukungan penuh WHO. Padahal konsep ini menuntut dunia hidup berdamai dengan virus sumber penyakit berbahaya. Tapi ironisnya, sejumlah masukan ilmiah para pakar dinegasikan. Semuanya harus "kalah" demi memenangkan kepentingan pemilik modal.

Inilah mengapa publik hendaknya berpegang kembali lagi pada konsep bahwa penanganan pandemi Covid-19 harus dalam koridor tata laksana yang solid dan sistematis. Sudah cukup rakyat menyaksikan euforia bagi-bagi jabatan dan kursi, di samping tumpang tindih kebijakan yang overload klarifikasi. Kondisi ini sungguh menunjukkan bahwa penguasa jauh dari kata serius dan niat baik untuk mengurusi rakyatnya.

Penguasa hanya sibuk mengamankan kepentingan masing-masing. Tanpa berpikir berbagai dampak yang timbul akibat adanya kebijakan plin-plan. Yang terbenakkan dalam diri mereka hanya seputar cara balik modal akan mahalnya ongkos demokrasi yang telah mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan.

Ini sungguh berbeda dengan Islam. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw dengan membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Wujud kerahmatan Islam itu bisa tampak tatkala Islam diterapkan secara sempurna (kâffah) dalam tatanan sebuah negara. Umat, baik secara individu, bermasyarakat, dan bernegara, akan terlindungi oleh Islam. Karena bagi Islam,  seorang pemimpin negara memang memiliki tanggung jawab besar untuk mengurusi rakyatnya. Bahwa menjadi pemimpin bukanlah untuk foya-foya.

Pengayoman yang dilakukan sistem Islam merupakan implementasi mandat kepemimpinan sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Sementara, dalam kaitannya dengan penghindaran diri dari penyakit yang mewabah pada suatu kawasan, seorang Muslim diharuskan untuk menghindarkan dirinya dari kawasan tersebut menuju kawasan lain yang lebih aman dengan istilah "pindah dari qadar (ketentuan) Allah menuju pada qadar yang lain."

Kondisi ini sebagaimana implementasi dari firman Allah SWT : "... Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya." (QS al-Maidah [5]: 32).

Maka dari itu, Islam sangat peduli dengan nasib umat ini. Demi kemashlahatan umat, terkhusus saat pandemi, maka semua ini akan dielaborasi oleh negara sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang saling berkesinambungan dan tidak membingungkan.

Sungguh Allah SWT juga telah menegaskan hal ini dalam Al Quran Surat Al Anfal, ayat 24, yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apa bila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu..."[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama