Relaksasi Impor, Untung atau Buntung?


Oleh: Rina Yulistina

Komoditas sayuran asal China bulan ini membanjiri Indonesia, nilainya mencapai USD 75,37 juta naik 219,31% atau tiga kali lipatnya dibandingkan Maret 2020 yang hanya USD 23,60 juta (kumparan.com). Itu artinya Indonesia harus menguras triliunan rupiah hanya untuk impor sayuran.

Menjadi suatu kewajaran jika impor sayuran dipertanyakan oleh publik. Indonesia bukan negara bergurun lantas untuk apa impor sayur? Alasan klasik yang senantiasa didengungkan "produk dalam negeri tak mencukupi kebutuhan dalam negeri". Apalagi saat ini korona, serasa menjadi aji mumpung melakukan impor.

Namun benarkah akibat korona produksi bahan pangan Indonesia merosot? Direktur Jenderal Holtikultura Kementan Prihasto Setyanto membuktikan bahwa produk sayuran yang dihasilkan petani melimpah ruah. Bahkan sempat beberapa waktu yang lalu viral beberapa daerah para pedagang membagikan sayuran gratis karena tak laku.

Menjadi suatu yang kontradiktif, produk dalam negeri tumpah ruah namun pemerintah malah sibuk impor. Kejadian seperti ini terus berulang, ugal-ugalan impor tak hanya terjadi saat pandemi saja jauh sebelumnya telah sering terjadi hingga neraca perdagangan defisit pun pemerintah masih saja hobi impor. Seharusnya di tangah pandemi pemerintah sibuk mencari pemasukan bukan malah sibuk mengeluarkan uang. Namun apalah dikata, kebijakan impor adalah salah satu kebijakan non fiskal yang ditetapkan oleh bu menteri terbaik dunia, Bu Sri Mulyani, kebijakan tersebut diantaranya penyerdahanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan untuk aktivitas ekspor impor.

Untuk itulah menteri perdagangan membuat peraturan relaksasi impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 tahun 2019. Dalam aturan tersebut dijelaskan ketentuan impor bawang putih dan bawang bombai dikecualikan dari persetujuan impor dan laporan surveyor. Awalnya setiap importir memerlukan RIHP dari Kementrian Pertanian, selanjutnya memerlukan PI (Persetujuan Impor) dari Kementerian Perdagangan. Namun sejak berlakunya relaksasi impor. RIPH dan PI tak dibutuhkan lagi. Dampaknya siapapun bisa dengan mudah dan leluasanya melakukan impor. Hal ini terbukti terdapat 28 ribu ton bawang putih tanpa persetujuan PI.

Diberlakukannya kebijakan non fiskal sebagai upaya penyelamat resesi ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa berjalan ditengah pandemi melalui neraca perdagangan yang surplus. Apakah tujuan tersebut tercapai? Namun sayangnya harapan itu tinggalah harapan, BPS mencatat neraca perdagangan RI mengalami defisit sebesar 350 juta dolar AS.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kinerja impor yang meningkat dan angka ekspor yang mengalami menurun menjadi penyebab defisit negara perdagangan pada April 2020. Berdasarkan catatan BPS, ekspor pada Maret mencapai 12,19 miliar dollar AS sedangkan impor mencapai 12,54 miliar dollar AS. (kompas.com)

Bukannya untung malah buntung, kebijakan seperti itu terus berulang dan kegagalan terus terjadi. Sampai kapan Indonesia akan terbebas dari jerat impor? Harapan dari Menteri Pertanian yang menargetkan Indonesia sebagai lumpung pangan dunia alias World Food Storage pada 2045, akan sangat sulit terwujud jika setiap menteri di negeri ini saling bertolak belakang dalam membuat kebijakan. Lumbung pangan tidak akan pernah ada jika kebijakannya pelonggaran impor.

Kebijakan yang saling bersebrangan bukan muncul secara tiba-tiba, ini merupakan hasil dari ketidak jelasan visi penguasa negeri ini dalam memimpin negara. Indonesia yang kaya akan SDA dipimpin secara serampangan. Sikap serampangan ini dihasilkan dari sistem yang amburadul. Mereka terpilih bukan karena kualitas mereka namun atas banyaknya dukungan para pemilik modal dibelakang mereka untuk mendapatkan kursi, begitulah sistem demokrasi mencetak pemimpin.

Sehingga ketika mereka memimpin bukan berusaha supaya Indonesia terbebas dari jerat impor malah memasukan Indonesia lebih dalam di jurang kegelapan. Mereka berusaha untuk menyenangkan tuannya yang telah memberikan bantuan untuk mendapatkan kursi, sehingga mereka menjadi fasilitator dalam memberikan kebijakan dan aturan yang memudahkan para kapital untuk menguras habis Indonesia.

Indonesia berada dalam jebakan ekonomi neolib, terikat dengan berbagai perjanjian internasional. Sehingga sekecil apapun kebijakan yang dibuat, semua berada dalam satu poros yaitu neoliberal yang mengharamkan adanya intervensi negara dalam ekonomi. Sedikit saja negara campur tangan, maka siap-siap akan mendaparkan hukuman. Seperti yang terjadi pada 2017 silam, Indonesia digugat oleh Brasil lewat WTO (World Trade Organization) karena kebijakan Indonesia menghambat impor unggas mereka, pada akhirnya unggas Brasil menjamur mematikan unggas lokal. Begitulah kejinya ideologi demokrasi kapitalis yang memperalat negara pengekor menjadi santapan empuk negara besar.

Hal tersebut akan terus berulang selama Indonesia tidak menggati sistemnya dengan ideologi yang berasal dari Sang Maha Pencipta yaitu ideologi Islam. Islam sangat melarang pasar bebas, namun mehalalkan perdagangan oleh sebab itu perdagangan internasional tetap akan ada namun akan sangat bertolak belakang dengan kapitalis.
Di dalam Islam perdagangan internasional akan dipilah mana negara yang bisa diajak kerjasama mana yang tidak, negara yang jelas-jelas memusuhi Islam tidak akan perjanjian apapun seperti AS, Inggris, Prancis, dll. Negara yang tidak memusuhi islam diperbolehkan untuk melakukan kerjasama. Barang yang diperdagangkan pun juga akan diatur tidak boleh barang yang haram, harus jelas kehalalannya. Selain itu ketika melakukan perdagangan memang  harus dipastikan bahwa kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi jika ingin melakukan ekspor, ketika ingin melakukan impor memang harus benar-benar di dalam negeri sangat membutuhkan. Barang yang di ekspor pun juga bukan komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan negara.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama