DERITA TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DALAM JERATAN “PERBUDAKAN MODERN”



Mamay Maslahat, S,Si., M.Si.
(Dosen, Tinggal di Bogor)

Seakan tiada henti derita TKI di negeri asing, masih kuat dalam ingatan kita bagaimana para TKI khususnya tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi ataupun di negara lainnya yang mengalami penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi oleh majikannya,  bahkan tidak sedikit dari para TKW ini pulang “tinggal nama” setelah bekerja di negeri asing dalam waktu yang cukup lama. Hal ini  menjadi catatan kelam sejarah tenaga kerja negeri ini. Dan yang mengejutkan lagi, pada awal bulan Mei 2020 ini, berita nasional diramaikan dengan kabar “pelarungan” 4 anak buah kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di perusahaan pelayaran milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Komisi 1 DPR RI menduga meninggalnya 4 ABK WNI ini mengarah kepada perbudakan modern, dan ternyata hal ini didukung oleh keterangan dari 14 orang ABK WNI lainnya yang melaporkan tindakan diskriminasi bahkan pelanggaran HAM terhadap mereka oleh perusahan pelayaran asing asal RRT tersebut.   

Apakah yang dimaksud dengan perbudakan modern?. Dalam Indeks Perbudakan Dunia, Perbudakan modern didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang memperlakukan orang lain sebagai property miliknya sehingga kemerdekaan orang tersebut  terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan praktik perbudakan. Walk Free Foundation, sebuah lembaga yang giat mengupayakan penghapusan perbudakan modern merinci bahwa perbudakan modern bermula dari perdagangan manusia. Menurut Protokol Perdagangan Manusia PBB tahun 2000, salah satu bentuk perbudakan modern adalah buruh paksa, dan orang-orang yang rentan terhadap perbudakan modern ini mendapatkan bayaran/gaji yang sangat minim bahkan nyaris tidak sama sekali. Berdasarkan perkiraan Lembaga Walk Free Foundation dalam The Global Slavery Index, pada tahun 2017 ada 40 juta orang mengalami perbudakan modern. Jadi kemungkinan  terdapat banyak TKI yang saat ini bekerja sebagai ABK pada kapal-kapal asing mengalami tindakan yang tidak manusiawi. Juga TKI-TKI yang bekerja di pabrik-pabrik dan perkebunan yang dipaksa bekerja hingga 18 jam sehari dengan gaji yang sangat minim.

Bagaimanakah pandangan Sistem Islam terhadap hal ini. Setiap individu rakyat  berhak untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pekerjaan sebagai salahsatu sarana dalam memenuhi nafkah hidup, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarga yang menjadi tanggungannya.

Sistem Islam memandang, adalah kewajiban negara untuk menjamin dan menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat baik pada sektor pertanian, perdagangan ataupun industri. Hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, Islam telah mengaturnya secara detil terperinci dalam sistem Ijaroh (kontrak kerja). Islam membolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga/jasa para pekerja atau buruh untuk dirinya. Dalil untuk hal ini ditunjukkan baik oleh Al-Quran maupun Al-Hadits.

Ijaroh melibatkan dua pihak yaitu Ajir (pekerja) dan Musta’jir (majikan), untuk mengontrak seseorang pekerja harus ditentukan jenis pekerjaannya sekaligus waktu, upah, dan tenaganya. Jenis pekerjaanya harus dijelaskan sehingga tidak samar, karena transaksi ijaroh yang masih samar adalah fasad (rusak). Begitu pula dengan gaji/upah, disyaratkan agar gaji pada perjanjian  ijaroh  jelas besarannya dan waktu pemberiannya.  Mengenai hal ini, beberapa hadits telah menjelaskan, diantaranya adalah : “ Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak seorang pekerja, hendaklah ia memberitahukan upahnya kepadanya (HR Ad-Daruquthni dari Ibnu Mas’ud).

 Selain memiliki aturan yang jelas mengenai transaksi kontrak kerja, Islam juga telah memberikan hukum-hukum yang harus diperhatikan bagi para pemilik perusahaan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja. Hal-hal tersebut menyangkut : perlindungan terhadap pekerja dan waktu istirahat yang layak (HR Al-Baihaqi), jaminan penghidupan bagi pekerja (HR An Nasai), dan menyegerakan membayar gaji/upah (H.R Abu Dawud).

Dari sisi negara, negara harus memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya termasuk dalam kasus “perbudakan modern” ini. Negara harus hadir dalam pembelaan dan pendampingan warga negaranya untuk mendapatkan hak-haknya selama bekerja dan menuntut pertanggunjawaban  perusahaan-perusahaan asing tersebut yang telah memperlakukan ABK WNI secara tidak manusiawi dan bahkan telah melanggar hak azasi manusia. Bukan malah menunjukan keberpihakan kepada perusahaan asing tersebut karena hubungan diplomatik yang erat dengan RRT, padahal dunia internasional telah mengecam sikap tidak manusiawi perusahaan asing tersebut kepada ABK WNI.  Bercerminlah pada sosok Amirul Mukminin  Umar Bin Khatab salah seorang khulafaur Rasyidin yang memiliki sikap tegas dalam menjalankan fungsi perannya memberikan perlindungan serta penjaminan hak-hak  bagi warga negaranya.

 Berdasarkan hal ini, semoga masyarakat menyadari hanya dengan menerapkan aturan Islam dalam kehidupan, rakyat akan mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai warga negara karena Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal manusia dan memberikan nilai-nilai yang kuat sebagai bentuk perlindungan terhadap kaum pekerja yang merupakan bagian dari warga negara. Wallahu Alam.




*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama