Perundungan Anak Terus Terjadi, PR Besar Perlindungan Anak



Oleh : Farzana (Aktivis Dakwah)

Perundungan anak masih terus terjadi bahkan dengan tindakan yang makin mengarah ke kriminal. Video bullying yang dilakukan oleh beberapa pelajar di Bandung, para pelaku menceburkan korban ke sumur, karena korban menolak meminum minuman alkohol. Mirisnya pelakunya adalah anak-anak SMP teman korban. (kompas.com, 27/06/2025)

Berdasarkan data yang dihimpun Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dari Januari hingga September 2024 tercatat 293 kasus kekerasan di sekolah. Bentuk kekerasan berupa kekerasan seksual, bullying, fisik dan psikis. (kompas.com)

Fakta terus bertambahnya kasus perundungan setiap tahunnya memunculkan tanda tanya, kenapa sulit sekali membendung dan menyelesaikan kasus ini? Lalu bagaimana nasib generasi penerus bangsa. Jika saat ini generasi sudah memiliki kepribadian buruk, bagaimana nasib bangsa ini di masa depan?


Gagal Menyelesaikan Problem Bullying 

Hal ini menunjukkan gagalnya regulasi dan lemahnya sistem sanksi, yang juga  kaitannya dengan definisi anak dalam sistem hari ini. Dalam undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan yang masih dalam kandungan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mengatur mengenai penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), dengan sanksi pidana pokok berupa peringatan, bersyarat, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga dan penjara. 

Selama ini hukuman bagi anak remaja yang melakukan kriminal sebagaimana pada kasus di atas hanya dilakukan mediasi. Kalau pun ditindak kasus kriminal yg dilakukan remaja, paling maksimal diberikan hukuman penjara dengan pelatihan kerja dan sejenisnya. Hukuman tersebut tidak memberikan efek jera bagi pelaku, mengingat adanya UU tentang perlindungan anak yang tercakup dalam hak-hak khusus anak, terdapat aturan yang tumpang tindih sehingga sulit untuk menyelesaikan persoalan ini.

Di sisi lain, ini juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan. Hal ini semakin tampak dengan penggunaan tuak (minuman keras) yang merupakan minuman haram dan adanya kekerasan oleh anak. kasus ini menambah bentuk atau ragam perundungan yang sudah ada.

Semua ini merupakan buah buruk penerapan sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik dalam semua aspek kehidupan. Sistem hidup yang mengagungkan kebebasan (Liberalisme) termasuk kebebasan bertingkah laku. Sehingga memunculkan tindakan amoral karena jauhnya dari kehidupan beragama. Termasuk dijauhkannya peran agama dalam aspek pendidikan dan peradilan. Kurikulum kapitalistik yang terus berubah-ubah dan tidak memfokuskan pada perbaikan kepribadian peserta didik. Begitu pula seabrek persoalan di bidang pendidikan saat ini.

Masalah Sistemik 

Adapun problematika degradasi moral dan kepribadian siswa ini hanya persoalan cabang. Masalah utamanya adalah sistem hidup yang sekuler kapitalistik sehingga muncul persoalan cabang yang berkaitan dengan kebijakan berupa pembiaran peredaran minuman keras, pergaulan yang serba bebas (liberal), tontonan yang tidak mendidik, kurangnya pelajaran agama di lingkungan pendidikan, minimnya kontrol keluarga serta tidak adanya sanksi yang memberikan efek jera bagi remaja yang menjadi pelaku kriminal. 
Semua persoalan ini ibarat benang kusut yang sulit untuk di urai satu-persatu, karena erat kaitannya dengan regulasi kebijakan dan sistem hidup yang diterapkan saat ini yaitu Kapitalisme dengan sistem pemerintahan demokrasi.

Dengan demikian dibutuhkan adanya perubahan yang mendasar, untuk menyelesaikan persoalan bullying tidak cukup dengan menyusun regulasi atau sanksi yang memberatkan, namun juga pada paradigma kehidupan yang diemban oleh negara. Buktinya penerapan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) beserta kebijakan lainnya hingga saat ini tidak mampu menyelesaikan kasus perundungan (bullying), bahkan kasus ini semakin meningkat setiap tahunnya. 

Langkah Preventif & Solutif Islam

Islam menjadikan perundungan sebagai perbuatan yang haram dilakukan, baik verbal apalagi fisik bahkan dengan menggunakan barang haram. Semua perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan. 
Islam menjadikan baligh sebagai titik awal pertanggumgjawaban seorang manusia.
Hadis Nabi ﷺ menunjukkan hal itu.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ 

Artinya, “Telah diangkat pena (tidak dikenai hukum) dari tiga orang, yaitu anak kecil hingga ia balig, orang yang tidur hingga bangun, orang gila sampai ia sadar.” 
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukalaf. (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/36).

Ini berlaku mafhum mukhalafat (makna yang sebaliknya), bahwasannya apabila seseorang sudah baligh (mimpi basah/haid) baik laki-laki maupun perempuan, maka akan berlaku atau dibebankan hukum-hukum Allah (syariat) atasnya (mukallaf).

Sehingga sanksi pidana (uqubat) akan diberlakukan kepada seseorang bukan dilihat dari segi umur, tetapi apakah sudah baligh atau tidak. Ketika sudah baligh maka posisinya bukan lagi sebagai anak-anak di bawah umur. Demikian yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. selama beliau menjadi Kepala Negara Islam di Madinah dan seluruh Jazirah Arab. 

Rasulullah Saw. bersabda:
"Pada dua biji mata, dikenakan diat. Pada satu biji mata, diatnya 50 ekor unta. Pada dua daun telinga dikenakan diat penuh.” 
(Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat).

Dalam artian, jika pelaku kriminal adalah orang yang sudah baligh maka akan diberlakukan hukum. Namun jika anak-anak yang belum baligh maka tidak akan diberlakukan hukum. Itupun dilihat dari dua hal, apakah perbuatan anak tersebut atas kelalaian orang tua atau bukan. Jika karena kelalaian maka orang tuanya akan diberikan sanksi.

Pada masa Rasulullah Saw., Abu Dzar pernah keceplosan mengatai  Bilal bin Rabah dengan perkataan "Dasar kulit hitam", perkataan tersebut membuat Bilal tersinggung, hingga ia mengadu kepada Rasulullah Saw. Mendengar hal itu, rona wajah Rasulullah berubah dan menghampiri Abu Dzar dan bersabda "Sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyah!".

Mendengar peringatan tegas dari Rasul, Abu Dzar menangis dan memohon ampun kepada Allah. Dan berulang kali meminta maaf dan menyuruh Bilal menginjak wajahnya. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. juga tegas terhadap persoalan bullying baik yang bersifat fisik maupun verbal.

Islam juga menjadikan sistem pendidikan yang berasas akidah Islam memberikan bekal untuk menyiapkan anak mukallaf pada saat baligh. Pendidikan ini menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan negara sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam menyusun kurikulum Pendidikan dalam semua level. Bahkan pendidikan dalam keluarga pun negara memiliki kurikulumnya. Semua untuk mewujudkan generasi yang memiliki kepribadian Islam.

Sistem informasi dan sistem sanksi yang berbasis syariah Islam menguatkan arah pendidikan yang dibuat oleh negara. Dengan demikian, akan lahir generasi yang berkepribadian Islam. Generasi yang lahir dan terkondisikan dalam sistem hidup yang Islami, yang mampu menyesuaikan perkataan dan tingkah lakunya sesuai dengan syariat Allah SWT.

Wallahu A'lam.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama