Tren Poliandri ASN Mengancam Ketahanan Keluarga

 


Oleh: Hilmatul Mutaqina ( Aktivis muslimah dan Praktisi Pendidikan) 


Ketahanan keluarga terancam. Baru-baru ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo, mengungkapkan adanya fenomena baru pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN). Fenomena tersebut berupa ASN perempuan yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri. 


Menurutnya, kasus poligami ASN berdasarkan atas aduan istri masih ada yang yang diberi sanksi nonjob, tetapi tidak dipecat. "Saya juga pernah memutuskan perkara pernikahan tetapi ASN wanita yang punya suami lebih dari satu. Ini fenomena baru, ini kan sesuatu hal yang repot kalau ada pengaduan dari suami yang sah dan didukung oleh pengaduan pimpinan. Ini tren baru, karena biasanya laporan yang masuk itu kasus poligami," ungkapnya.(Republika.co) 


Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengaku terkejut dan prihatin mendengar pernyatan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo yang mengungkapkan adanya fenomena pelanggaran baru oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu perempuan yang memiliki suami lebih dari satu orang atau poliandri. Ia meminta agar Kementerian PAN-RB menindak tegas jika ada ASN yang terbukti melakukan poliandri.


Ia menganggap masalah poliandri yang terjadi dikalangan ASN jelas melanggar norma kesusilaan dan peraturan pemerintah. Sementara itu, kata Guspardi, hukum agama juga tidak mengizinkan wanita memiliki lebih dari satu orang suami.


Tren baru poliandri di kalangan ASN patut ditelisik lebih lanjut apa latar belakangnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan Mirza, dalam jurnal hukum keluarga dan hukum islam, disebutkan beberapa alasan seorang wanita melakukan poliandri. Diantaranya aspek ekonomi, jarak dengan suami yang jauh, tidak terpenuhinya nafkah lahir dan batin, aspek usia suami yang lanjut, ketidakharmonisan keluarga, lemahnya iman,  kurangnya pemahaman agama dan kontrol sosial dalam masyarakat.  


Berbagai latar belakang tindakan poliandri yang ditemukan di lapang tentu tidak lantas menjadi alasan pembenaran melakukannya. Kemudhorotan yang dihasilkan dari tindakan tersebut akan berpengaruh buruk terhadap masyarakat. Nasab yang tidak jelas dari hasil perkawinan poliandri merusak masa depan generasi. 


Poliandri sebagai buah dari sistem demokrasi saat ini,  jelas menampakkan kegagalan akut. Banyak kemudhorotan yang menimpa manusia akibat mencampakkan hukum terbaik dari Sang Pencipta. Demokrasi yang menghasilkan kebebasab absurd, gagal nenciptakan kebahagiaan yang diimpikan. Slogan kebebasan berprilaku justru semakin membuat wanita sengsara dan terhina. Kerusakan rumah tangga, runtuhnya ketahanan keluarga, hingga berakhir pada perceraian adalah akibat yang harua diterima dari tindakan poliandri. Bahagia hanya bisa diraih dalam bingkai ketaatan kepada syariah. Bukan semata kepuasan hawa nafsu semata.


Keluarga dalam Islam juga memiliki peranan yang sangat vital. Ketahanan keluarga yang kuat tentu akan menghasilkan generasi cemerlang. Generasi pemimpin yang mengisi peradaban dan membawanya menuju puncak kegemilangan. Keluarga merupakan sumber pranata primer sebuah peradaban. Ayah dan ibu menjadi madrasah untuk anaknya dalam membangun kepribadian. Keluarga yang harmonis, berpegang teguh pada syariat tentu akan menumbuhkan ketenangan dan menghasilkan generasi berkualitas. Hal itu telah dijamin oleh Islam dalam Khilafah. Sistem pemerintahan Islam yang menjadikan aturan Allah sebagai konstitusinya. 


Khilafah dengan mekanismenya akan memastikan setiap keluarga muslim bisa melakukan fungsi dan perannya dengan baik. Ketahanan keluarga tercipta dalam sistem ini. Maka jelas poliandri haram hukumnya dalan siatem Khilafah. 


Negara Khilafah berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa memenuhi tanggung jawabnya memenuhi kesejahteraan. Negara memastikan setiap kepala keluarga memiliki mata pencaharian dan mewajibkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap perempuan dan anak-anak untuk memenuhi hak mereka dengan baik.


Islam mewajibkan kepada suami atau para wali untuk mencari nafkah (QS Al-Baqarah 233, QS An-Nisaaa 34), negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memberi nafkah pada keluarga mereka, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal.


Islam menetapkan bahwa pergaulan suami-istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Kewajiban nafkah ada di pundak suami, yang bila dipenuhi akan menumbuhkan ketaatan pada diri istri. Pelaksanaan hak dan kewajiban suami-istri inilah yang menciptakan mawaddah wa rahmah dalam keluarga.


Pelaksanaan aturan Islam secara kâffah oleh negara akan menjamin kesejahteraan ibu dan anak-anaknya, baik dari aspek keamanan, ketenteraman, kebahagiaan hidup, dan kemakmuran.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama