Generalisasi Ciri Radikal Bikin Ambyar

 



Oleh Anita Irmawati


Isu radikalisme selalu menjadi bulan-bulanan pemerintah dalam pembahasan. Berbagai pernyataan hingga aksi protektif dengan dalih melindungi negara dari paham dan pemikiran radikal yang mengancam NKRI. Sayangnya, dengan pernyataan radikal dari Menang yang mengundang kontroversi bahkan menyudutkan Islam sebagai biang ancaman. 


Menteri Agama, Fachrul Razi yang membeberkan cara masuknya kelompok maupun paham-paham radikalisme ke masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan, BUMN, dan di tengah masyarakat. "Caranya masuk mereka gampang; pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan Bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal Alquran), mereka mulai masuk," kata Fachrul dalam webinar bertajuk 'Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara', di kanal Youtube Kemenpan RB, Rabu (2/9) (CNN Indonesia, 03/09/20).


Pernyataan ciri-ciri seorang 'radikal' yang berpenampilan good looking, menguasai Bahasa Arab, hingga hafidz Qur'an sangatlah tidak rasional dan tanpa dasar. Justru, stigma negatif ini mengarah seutuhnya kepada ajaran Islam. Namun, mengapa harus bahasa Arab dan hafiz Qur'an sebagai identitas Islam yang diserang? 


Radikal dan Radikalisme, Mengapa Islam yang Disasar?


Padahal kata radikal berasal dari bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Senada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal memiliki arti 1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); 2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3) maju dalam berpikir atau bertindak. Jelas, radikal bermakna netral. Namun sayangnya, makna radikal menjadi negatif apalagi dengan tambahan -isme menjadikan radikalisme sebagai paham yang merusak kesatuan. Bahkan, sudah dipaketkan dengan kata teroris dan terorisme. 


Sama halnya dengan radikalisme yang memiliki tiga makna dalam KBBI yakni 1) paham atau aliran yang radikal dalam politik, atau sikap ekstrem dalam aliran politik; 2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3) sikap ekstrim dalam dalam aliran politik.


Jika secara makna radikal adalah akar, maka pemahaman yang dimiliki telah mengakar dalam diri, tentu ini bermakna positif. Apalagi dibarengin dengan penuntutan perubahan secara mendasar dan maju dalam berpikir juga bertindak. Namun sayangnya, kata 'perubahan dengan cara kekerasan' yang mencoreng dan membuatnya stigma negatif pada kata ini.


Lantas, mengapa harus Islam yang disasar, apakah Islam memaksakan ajarannya diterima dengan kekerasan? Padahal Islam tak pernah menggunakan kekerasan dalam penyebaran, justru agama damai nan memuaskan pertanyaan dan menentramkan akal manusia. 


Good Looking Menuntut Seorang Muslim 


Penampilan menarik, ahli bahasa Arab, hingga hafidz Qur'an tentu menjadi idaman anak shalih bagi orang tua, kriteria menemukan pasang hidup, hingga kriteria dalam menduduki sebuah posisi. Namun esensinya tetaplah ridha illahi, karena tuntutan good looking tak sekadar membalut diri dengan pakaian yang mewah dan trendi. Tapi ada kebersihan dari najis (bersuci) hingga balutan akhlak dalam berperilaku baik. 


"Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu." (HR. Tirmizi)


Begitupula dengan ahli bahasa Arab dan seorang hafidz Qur'an yang tentu ada penekanan untuk bisa menguasainya. Karena Al-Qur'an adalah sumber pengambilan hukum pertama yang diberlakukan dan diterapkan dalam sistem Islam. Tak jarang pedoman hidup bagi kaum muslim ini mestilah digali dan dicari makna dengan penjelasan As-Sunnah, Ijma dan qias. Sayangna penggalian hukum (istinbat) dan ijtihad tidaklah bisa dilakukan tanpa penguasa terhadap bahasa Arab dan Al-Qur'an sendiri. 


Ciri Radikal Idaman Masyarakat


Pernyataan ciri seorang radikal dengan menggeneralisasi adalah hal yang keliru bahkan salah total. Apalagi hal ini menyasar kaum muslim yang disaran menjadi seorang faqih fiiddin, yang paham dengan Islam. Kedengkian penguasa tetaplah sama, ketakutan akan Islam yang kembali berjaya. Setalah sigma negatif yang menyudutkan ajarannya, kini mereka menyasar personal dengan penampilan. 


Alhasil, generalisasi ciri-ciri tersebut jutrus menyudutkan bahwa umat Islam lah sebagi biang yang menyebarkan radikalisme yang disasar pemerintah, serta menuntut ide sekularisme diemban oleh ummat Islam sebagai keinginan pemerintah. Dan membuat takut masyarakat terhadap personal dan kelompok yang memiliki penampilan menarik (good looking), menguasai bahasa Arab, hingga seorang hafidz. 


Namun sayangnya, banyak masyarakat ramai-ramai memasukkan anaknya ke pesantren, agar kelak menjadi penghafal Al-Qur'an. Ciri-ciri yang dikemukakan bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat. Justru ciri-ciri tersebut menjadi dambaan di masyarakat. Jadi benarkah pelaku radikalisme adalah mereka yang good looking, fasih berbahasa Arab, hingga seorang hafidz Qur'an?


Wallahu'alam bisahwab []

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama