Oleh: NR Tambunan
(Anggota Komunitas Pelita)
Pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melancarkan kampanye “Gerakan Kurva Melandai”. Upaya ini digencarkan dengan target berkurangnya jumlah kasus Covid-19 di Indonesia. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan gerakan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah kasus dengan cara memastikan tidak menularkan orang lain begitu juga sebaliknya (cnbcindonesia.com, 09/05/20).
Namun belum genap satu minggu kampanye ini disuarakan, masyarakat diricuhkan dengan peristiwa pelanggaran PSBB yang fenomenal. Peristiwa tersebut antara lain adalah terjadinya kerumunan massa saat penutupan restoran McD Sarinah pada malam tanggal 10 Mei 2020 (megapolitan.kompas.com, 14/05/20).
Meskipun akhirnya pengelola McD didenda Rp. 10 juta, banyak pihak menyayangkan longgarnya aparat untuk mencegah terjadinya pelanggaran PSBB ini. Tenaga medis pun ketar-ketir menanti kemungkinan munculnya kasus covid-19 dari klster McD Sarinah.
Peristiwa lainnya yang sedang ramai di media saat ini adalah membludaknya antrian penumpang di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta pada hari Kamis, 14 Mei 2020. Para calon penumpang bedesak-desakan antri untuk menyerahkan berkas persyaratan untuk bepegian tanpa penerapan physical distancing. Jadwal keberangkatan pesawat yang hampir berbarengan diduga menjadi penyebab mengularnya antrian di posko verifikasi dokumen perjalanan tersebut (kompas.tv, 14/05/20).
/Berandai Kurva Melandai/
Nampaknya apa yang diperintahkan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan kurva kasus positif Corona di Indonesia dengan cara apapun belum dapat diprediksi berhasil. Target pemerintah bahwa di bulan Mei kurva harus menurun, sepertinya sulit untuk direalisasikan apabila situasi yang ada malah menunjukkan angka yang merangkak naik. Ditunjang pula dengan merebaknya pelanggaran demi pelanggaran aturan PSBB mengakibatkan harapan pemerintah bagaikan memimpi bintang di langit dapat dipetik.
Kondisi ini ditegaskan pula oleh para ahli yang menyatakan bahwa melandainya kurva tak mungkin terjadi. Tim Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) menuliskan di web The Conversation, hingga saat ini Indonesia belum menampilkan kurva epidemi COVID-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. Menurut Tim Peneliti EOCRU, hingga 8 Mei 2020, pemerintah Indonesia hanya menampilkan kurva harian kasus COVID-19. Turunnya angka kasus harian itu tidak bisa langsung dibaca sebagai turunnya laju infeksi harian, sehingga tidak bias diklaim sebagai penurunan kasus baru Covid-19 (news.detik.com, 10/05/20).
Klaim para ahli mungkin terlalu memusingkan untuk dipahami. Namun fakta menunjukkan bahwa keinginan pemerintah yang memaksakan kurva melandai di bulan Mei merupakan satu indikasi adanya keinginan besar pemerintah untuk mulai melonggarkan kebijakan PSBB. Tak dipungkiri, kondisi wabah ini dianggap salah satu faktor yang mengancam kestabilan perekonomian negara sehingga perlu upaya yang massif untuk dapat mendongkrak roda ekonomi kembali.
Keinginan pemerintah ini ditunjukkan dengan mulai melonggarnya kebijakan terkait moda transportasi. Kementerian Perhubungan telah membuka akses transportasi khusus bagi orang dengan keperluan bisnis yang esensial atau kepentingan mendesak lainnya serta sesuai dengan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tentang kriteria pembatasan perjalanan orang dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.
Fakta demi fakta menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan kampanye gerakan kurva melandai, seakan-akan berbanding terbalik dengan dibukanya kunci aliran transportasi yang memicu terjadinya pelanggaran aturan PSBB.
Di sisi lain, masyarakat mengamati adanya perbedaan yang diterapkan pemerintah saat menindak pelanggar PSBB yang dilakukan oleh masyarakat di pasar maupun ritel kecil dengan pengelola mall dan restoran. Rakyat kecil dikejar bahkan ditindak tegas tanpa tedeng aling-aling. Sedangkan pengusaha besar diperbolehkan membuka tempat usaha dan tak ditindak tegas walaupun kondisi lapangan memperlihatkan rawannya aturan PSBB diabaikan.
Jika keadaan ini tak dikritisi, maka akan timbul pemikiran bahwa kampanye kurva landai yang disosialisasikan pemerintah hanyalah untuk menunjukkan keberhasilannya dalam menekan sebaran virus. Masyarakat layak curiga bahwa ini dilakukan sebagai legitimasi dari sisi kesehatan untuk melonggarkan PSBB demi kepentingan ekonomi sekelompok elit semata. Kenyataan bahwa landainya kurva tersebut tidak pernah terbukti menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan pembohongan publik yang membahayakan masyarakat.
/Penanganan Tak Sepenuh Hati/
Sedari awal, penanganan wabah yang terkesan lamban telah menempatkan pemerintah dalam dua situasi. Pertama, pemerintah merasakan bahwa dampak pandemi akan memukul perekonomian Indonesia secara massif. Kondisi Indonesia yang tidak baik-baik saja bahkan sebelum wabah melanda membuat pemerintah abai dalam memproses kebijakan yang mampu secara tepat melindungi masyarakat dari sisi keselamatan dan kesehatan. Rekomendasi para akademisi bidang kesehatan tidak digubris. Bahkan jurus-jurus yang ditebar pemerintah lebih kepada bagaimana meningkatkan status ekonomi negara yang kocar-kacir.
Kedua, tekanan WHO dan badai kecaman masyarakat, menuntut pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang merupakan kebijakan setengah hati dalam melindungi masyarakat dari bahaya Covid-19. Teriakan masyarakat yang meminta pemerintah memberlakukan karantina wilayah diabaikan dengan berbagai alasan. Alasan berupa kurangnya dana hingga alasan empati terhadap masyarakat pekerja harian yang akan terdampak jika diberlakukan lockdown. Sejatinya alasan-alasan tersebut hanyalah upaya menghindar dari tanggung jawab merumahkan rakyat dan memberi makan mereka secara layak. Bansos yang digeber pun tak menyelesaikan masalah hancurnya dapur perekonomian rakyat jelata.
Mengamati situasi yang dijalani oleh pemerintah tersebut, pembatasan sosial basa-basi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi terkini di Indonesia. Rakyat harus berjuang melindungi dirinya sendiri dari wabah Covid-19 yang berbahaya, sedangkan di sisi lain pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang. Pembatasan sosial yang diharapkan mampu menangkal penyebaran virus Corona pun tak berhasil dicapai. Yang terjadi hanyalah basa-basi dalam skala besar untuk melakukan pembatasan sosial. Sungguh menyedihkan.
Inilah yang terjadi saat tolok ukur penanganan masalah lebih mengedepankan untung dan rugi belaka. Solusi yang berasaskan kapitalisme takkan benar-benar serius mengedepankan kemanusiaan. Setiap tindakannya akan bermuara pada keuntungan materi belaka. Jikapun memikirkan keselamatan, maka hal itu dilakukan demi meraih keuntungan yang lebih besar lagi.
Jika saja pemerintah mengambil kebijakan dengan melandaskan setiap aturannya atas dasar ideologi Islam, tentu pembatasan sosial yang terjadi bukanlah basa-basi belaka. Seperti yang telah dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Khattab di kala terjadi wabah dan juga krisis ekonomi. Aturan Islam ditegakkan dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Pemberlakuan karantina diterapkan dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat diberikan tanpa terkecuali. Semua dipenuhi dengan dana dari Baitul Maal. Negara benar-benar peduli dengan nyawa rakyat yang gugur sebagi korban, sehingga kebijakanpun diambil selaras dengan kepedulian ini. Rakyat tak dikorbankan demi tetap berputarnya roda ekonomi negara, sebab negara memiliki kemampuan penuh secara ekonomi yang bersumber dari fai, kharj dan juga pendapatan dari sumber daya alam milik umat yang dikelola negara untuk dikembalikan kepada umat. Wabah pun akan dapat ditanggulangi secara komprehensif.
Sudah terbukti secara fakta bagaimana keberhasilan Islam dalam menangani wabah dan krisis ekonomi. Namun perlu upaya yang kuat untuk mampu membuat pemerintah berpaling dari kapitalisme dan mengambil aturan-aturan Islam secara kaffah dalam menyelesaikan setiap permasalahan bangsa ini. Wallahualam bisshawab.[]