MAKSUD HATI KEJAR SETARA APA DAYA TETAP SENGSARA



(Refleksi Hari Perempuan Internasional 2020)

Oleh : Ati Solihati, S.TP
(Pemerhati Masalah Perempuan)

Hari Perempuan Internasional, atau dikenal International Women’s Day, jatuh pada tanggal 8 Maret.  Setiap tahunnya mengangkat tema yang terkait isu-isu perempuan.  Hari Perempuan dirayakan di berbagai negara, sebagai perayaan dimana peran dan kontribusi perempuan menjadi sorotan.  Hari Perempuan tahun 2020 ini, masih  mengangkat tema “Each for Equal”, masih tentang kesetaraan gender.

International Women's Day pun menjelaskan kenapa mereka mengusung #EachforEqual. "Dunia yang setara adalah dunia yang memungkinkan untuk melakukan apapun. Kesetaraan bukan hanya isu wanita tapi juga isu bisnis. Kesetaraan gender sangat penting untuk perkembangan ekonomi dan masyarakat. Dunia yang setara secara gender bisa jadi lebih sehat, kaya dan harmonis," demikian penjelasan di situs resmi Hari Perempuan Internasional.

Beberapa fakta yang melatarbelakangi diusung kembalinya tema “Each for Equal”, karena kesetaraan perempuan dengan laki-laki belum tercapai.  Direktur Jendral WHO, Dr.Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyoroti masih sulitnya akses pelayanan kesehatan mendasar bagi perempuan di dunia.  Perempuan terus menderita dari penyakit yang seharusnya dapat dicegah dan diobati.  Selain itu, menurut beliau, secara global, 70 persen tenaga kesehatan adalah perempuan, tetapi hanya 25 persen dari mereka yang mampu berperan hingga level manajemen.

Peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini dianggap spesial.  Karena tahun ini juga bertepatan dengan beberapa momentum yang dianggap penting akan kelahiran lembaga-lembaga yang mendukung perjuangan kaum perempuan. Bertepatan dengan peringatan ke-25 Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA-1995), 10 tahun berdirinya Perempuan PBB, dan peringatan 20 tahun resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan.

Pada momen Hari Perempuan Internasional, PBB mengusung kampanye generasi kesetaraan. Tujuan kampanye tersebut adalah memobilisasi untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender, keadilan ekonomi dan hak untuk semuanya, otonomi tubuh, kesehatan dan hak seksual dan reproduksi, serta tindakan feminis untuk keadilan iklim. Juga teknologi dan inovasi untuk kesetaraan gender dan kepemimpinan feminis.

Perjuangan kalangan perempuan dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi kaumnya, sebenarnya hal yang niscaya terjadi dalam masyarakat berideologi Kapitalisme yang berbasis aqidah sekularisme. Bahkan kelahiran ide-ide tuntutan kesetaraan gender pun seiring dengan kelahiran sekularisme tersebut.  Ketika kalangan gereja menguasai sendi-sendi kehidupan di Eropa pada saat itu, fundamentalisme agama melakukan berbagai opresi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk terhadap kehidupan kaum perempuan. Sejalan dengan lahirnya sekularisme sebagai aqidah dari ideologi kapitalisme, yang dipelopori oleh para filosof, maka kalangan gereja (agama) tidak diberikan hak dalam mengatur masalah kehidupan. Aturan-aturan kehidupan dibebaskan dari ikatan gereja (agama).  Sejalan dengan itu agama pun tidak diberi hak dalam mengatur masalah perempuan.

Dominasi para gerejawan yang mengantarkan pada kehidupan yang bersifat otoritair, adalah hal yang pasti terjadi.  Karena agama nashrani, dengan al kitabnya, tidak memiliki aturan yang mencakup semua aspek kehidupan umat manusia. Agamanya hanya mengatur masalah ibadah dan aspek moral saja.  Sehingga ketika aturan kehidupan diserahkan kepada para gerejawan, sudah pasti sangat bias kepentingan para gerejawan tersebut. 

Sehingga sering bertentangan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang banyak diusung oleh para filosof saat itu. Selain itu, juga tidak terpenuhinya kebutuhan kesejahteraan masyarakat secara umum. Sehingga aksi penolakan keterlibatan agama dalam setiap aspek kehidupan, saat itu, sejatinya menolak keterlibatan agama Nashrani dalam mengatur kehidupan. Yang semestinya tidak mengeneralkan dengan menolak keterlibatan agama Islam dalam mengatur kehidupan. Karena Islam memiliki aturan yang menyeluruh, mencakup semua aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah dan moral saja, tetapi juga mengatur masalah makanan, pakaian, pergaulan, ekonomi, pendidikan, politik, pemerintahan, peradilan, dll. Terkait dengan perempuan, Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia, yang berhak dilindungi dan wajib dijaga kehormatannya.

Sementara dalam ideologi kapitalisme, dengan individualisme yang merupakan salah satu ciri khas dari ideologi ini, setiap individu menganggap berhak secara penuh atas dirinya, maka kalangan perempuannya pun memandang bahwa mereka memiliki hak penuh atas dirinya secara gender.  Dimana sebelumnya kaum perempuan merasa bahwa hak penuh tersebut hanya dimiliki oleh kaum laki-laki saja.  Sehingga semenjak itu, tidak pernah lekang perjuangan mereka untuk menuntut persamaan hak, dengan beragam slogan, seperti feminisme, keadilan dan kesetaraan gender, hak reproduksi, kesehatan reproduksi remaja, dll.

Perjuangan kaum perempuan ini, kemudian mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga internasional.  Berbagai kesepakatan internasional pun telah diratifikasi, seperti Convention on The Political Rigghts of Women (1952), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW,1979), Beijing Declaration and Platform for Action (BpfA,19195), Millenium Development Goals (MDGs, 2001), dan Sustainable Develompment Goals (SDGs,2020).

Demikian panjangnya sejarah kaum perempuan dalam Sistem kapitalisme yang beraqidah sekulerisme, dalam memperjuangkan hak-haknya.  Namun apakah perjuangan mereka berhasil meraih apa yang mereka harapkan?  Mereka mengangkat berbagai isu yang diasumsikan banyak menimpa kalangan perempuan, dan meminta dukungan lembaga-lembaga internasional agar dapat memaksa negara-negara di dunia turut meratifikasinya. Apakah setelah mendapatkan dukungan lembaga-lembaga internasional dan bahkan sebagian besar negara di dunia pun ikut meratifikasi, signifikan dengan capaian seperti yang dicita-citakan?.  Ternyata jauh panggang dari api.  Kehidupan kaum perempuan di era dominasi Sistem Kapitalisme tetap sengsara.

Salah satu contohnya, isu penghapusan kekerasan pada perempuan.  Dari awal perjuangannya, isu penghapusan kekerasan ini telah diangkat dan diperjuangkan.  Namun apakah ada perubahan ke arah yang lebih baik?.  Ternyata yang terjadi sebaliknya. Misalnya di Indonesia, salah satu negara yang tidak pernah absen dalam meratifikasi kebijakan-kebijakan internasional terkait isu perempuan. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, telah terjadi kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019, tercatat 431.471 kasus atau meningkat 6 persen dari tahun sebelumnya 406.178 kasus.  Sementara kekerasan terhadap anak perempuan, sepanjang tahun 2019, Komnas mencatat terjadi 2.341 kasus, atau naik 65 persen dari tahun sebelumnya 1.417 kasus (Tempo.co, Maret 2020).  Selain itu, Komnas Perempuan mencatat, angka kekerasan terhadap perempuan lewat siber meningkat 300 persen.  Belum lagi tren peningkatan gugat cerai.  Memunculkan beragam permasalahan turunannya, seperti anak-anak yang broken home, dll.

Seandainya saja mereka mau kembali pada Islam, pada ajaran Sang Penciptanya, kembali pada Al Quran dan Sunnah Rasul, tentu mereka tidak perlu menempuh sejarah panjang yang melelahkan nan tanpa hasil.  Islam dengan seperangkat aturannya, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara sempurna.  Islam juga dengan seperangkat syariatnya tersebut, telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang mulia, yang berhak mendapatkan perlindungan, dan wajib dijaga kehormatannya, yang semua ini tidak pernah diperoleh kaum perempuan dalam peradaban yang lain.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم