Oleh: Ummu Naira
(Aktivis Forum Muslimah Indonesia/ForMind)
Riuh perayaan kemerdekaan 17 Agustus, mulai dari lomba tingkat RT, RW, instansi-instansi swasta dan pemerintah. Mulai dari anak-anak hingga para orangtua mengikuti permainan balap kelereng, memasukkan paku kedalam botol, balap karung, makan kerupuk, panjat pinang, sampai lomba sepakbola ibu-ibu juga ada. Permainan atau perlombaan untuk melepas penat dari kesibukan sehari-hari warga, memupuk kebersamaan, juga melupakan kesusahan hidup barang sebentar.
Peringatan hari kemerdekaan bangsa ini selayaknya menjadi momentum memikirkan bagaimana nasib bangsa Indonesia. Apakah kita sekarang sudah benar-benar merdeka? Bebas dari penjajahan asing? Jujur kepada apa yang sedang terjadi pada bangsa ini, kita sejatinya belumlah merdeka. Memang, kita tidak lagi dijajah secara fisik oleh Belanda dan Jepang. Tapi bagaimana dengan penjajahan nonfisik berupa penerapan sistem dan hukum milik penjajah?
Sistem politik, ekonomi, hukum yang cenderung neoliberal kapitalistik tengah menjajah negeri-negeri muslim. Negeri muslim dijerat dengan berbagai bentuk pinjaman berbunga dengan tujuan agar negeri muslim dapat dikendalikan oleh negara penjajah. Yang kemudian terjadi, kekayaan alam negeri muslim dikeruk dan dialirkan kepada negara kapitalis penjajah. Inilah neoimperialisme.
//Penerapan Neoimperialisme//
Penjajahan gaya baru ini lebih berbahaya dari penjajahan gaya kuno/penjajahan secara fisik karena lebih sulit dikenali. Masih banyak negeri muslim saat ini yang tidak merasa dijajah. Bahkan para elit politiknya justru bangga dengan sistem buatan penjajah, bahkan menjadi corong untuk membelanya.
Contohnya dalam demokrasi, misalnya, rakyat diklaim sebagai pemilik kedaulatan. Realitasnya, hukum dan Undang-Undang dibuat malah dengan arahan pihak asing. Rakyat sedikit sekali dilibatkan dalam proses pembuatan UU. Lalu di manakah aspirasi rakyat? Bagaimana dengan semboyan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat"? Bukankah ini adalah bentuk penjajahan? Di manakah kedaulatan rakyat ketika yang berkuasa malah pihak asing?
Belum lagi soal kekayaan alam yang harusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat banyak. Namun faktanya, kekayaan alam itu dikuasai oleh swasta asing maupun swasta dalam negeri. Hasilnya pun lebih banyak mengalir ke luar negeri. Bukankah ini juga salah satu bentuk penjajahan itu? Jutaan hektar tanah negeri ini dikuasai oleh segelintir orang bahkan pihak asing. Dimanakah peran negara?
Persoalan utang luar negeri pun demikian. Utang Pemerintah Pusat terus meningkat. Per akhir Juni 2019 sudah mencapai Rp 4.570,17 triliun (CNNIndonesia, 17/7/2019).
Padahal kita ketahui bersama, bahwa jeratan utang telah menjadi alat untuk memaksakan kebijakan asing atas negara kita. Keran impor dibuka selebar-lebarnya meskipun di dalam negeri banyak tersedia. Tidak hanya impor barang, impor pekerja asing juga dilakukan melebihi batas kebutuhan. Padahal jumlah pengangguran di Indonesia sendiri sudah sangat banyak.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2018, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) masih sebesar 5,34 persen. Artinya, masih ada 7 juta penduduk yang menganggur (beritagar.id, 14/03/2019). Bukankah ini juga bentuk penjajahan gaya baru atas sebuah bangsa?
Untuk menghentikan neoimperialisme ini tentu harus dilakukan melalui sistem yang memang didesain untuk memerdekakan umat manusia dari segala bentuk penjajahan.
//Merdeka dengan Syariah//
Islam memiliki sistem yang mengatur kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Islam tidak membolehkan penguasaan yang besar oleh individu apalagi pihak swasta asing atas sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Islam juga mengharamkan utang ribawi. Pengambilan utang yang jelas menimbulkan bahaya (dharar) juga dilarang.
Islam diturunkan oleh Allah SWT memang untuk memerdekakan umat manusia secara hakiki dari segala bentuk penjajahan dan penghambaan kepada sesama manusia. Termasuk didalamnya adalah menyerahkan hukum kepada sistem buatan manusia yaitu demokrasi. Lebih parah lagi jika aturan, hukum dan perundang-undangan tersebut diimpor dari pihak asing/penjajah.
Di dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Allah (hukum syara') dan kekuasaan untuk menentukan hukum semata-mata untuk menjalankan syariat Allah secara kafah di muka bumi, bukan untuk melanggengkan dominasi manusia atau kelompok atas manusia yang lain. Inilah hakikat kemerdekaan itu.
Dengan demikian, Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan dan penghambaan oleh manusia lainnya.
//Surat Rasulullah saw, Misi Islam yang Memerdekakan Manusia//
Terkait misi kemerdekaan Islam ini, Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:
...Amma ba'du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Di dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin Syu'bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra disebutkan tentang misi kemerdekaan Islam. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rabi bin Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra). Ia diutus setelah Mughirah bin Syu'bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rabi bin Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rabi bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).
Wallahu a'lam bishshawab.[]