Tunjangan Guru Dihapus, Cermin Buramnya Sistem Pendidikan Kita




Oleh: Septa Yunis

Kabar bahwa tunjangan tambahan (TUTA) guru di Provinsi Banten dicoret dari APBD 2025 sontak memantik kegelisahan luas di kalangan tenaga pendidik. Bagi sebagian guru, TUTA bukan sekadar angka dalam slip gaji melainkan bagian penting dari upaya bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi yang makin berat. Tak heran, banyak guru mulai menyuarakan keberatan mereka, bahkan merencanakan aksi turun ke jalan sebagai bentuk protes.

Seperti yang dilansir Tangerangnews.co.id (24/06/2025), Kabar mengejutkan datang dari dunia pendidikan Provinsi Banten. Alokasi anggaran tunjangan tugas tambahan (TUTA) bagi para guru di Banten ternyata tidak masuk alias dicoret dalam APBD murni 2025. Akibatnya, selama enam bulan terakhir, Pemerintah Provinsi Banten belum membayarkan tunjangan penting ini kepada ribuan guru yang menjadi tulang punggung pendidikan di daerah tersebut.

Kejadian ini bukanlah kasus terisolasi. Ia adalah cermin dari peliknya persoalan kesejahteraan guru dalam sistem pendidikan kita hari ini. Di satu sisi, guru dituntut untuk menghasilkan peserta didik yang unggul dan berdaya saing global. Namun di sisi lain, hak-hak dasar mereka sebagai penggerak utama pendidikan justru sering diabaikan atau dipangkas dengan dalih keterbatasan anggaran.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan guru, terutama di tingkat daerah, kerap jauh dari kata layak. Banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan agar dapur tetap mengepul, dari mengajar les privat hingga berdagang online. Hal ini tentu berdampak langsung pada fokus dan energi yang bisa mereka curahkan untuk mendidik anak-anak bangsa.

Padahal, guru adalah pilar utama dalam pembangunan peradaban. Tak akan pernah lahir generasi cerdas, berintegritas, dan berdaya saing tinggi tanpa kehadiran guru yang tulus, fokus, dan sejahtera. Negara mestinya sadar, bahwa investasi terbaik untuk masa depan bangsa adalah investasi pada sektor pendidikan, dan itu berarti juga menjamin kesejahteraan para pendidiknya.

Salah satu akar persoalan adalah cara pandang negara terhadap profesi guru. Dalam sistem kapitalisme yang diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, guru dipandang tak lebih dari sekadar pekerja biasa. Pendidikan pun tak lagi murni menjadi tanggung jawab negara, tetapi turut diserahkan ke tangan swasta yang berorientasi pada profit.

Sistem keuangan kapitalis yang menggantungkan pendanaan negara pada utang dan pajak membuat pengeluaran untuk sektor publik seperti pendidikan sering kali dianggap beban. Maka, tak heran jika pemerintah berupaya memangkas anggaran tunjangan guru dengan dalih efisiensi.

Lebih menyedihkan lagi, pendidikan mulai dipandang sebagai komoditas, bukan hak dasar rakyat. Maka lahirlah berbagai kebijakan yang mendorong komersialisasi pendidikan, menjadikan siswa sebagai pelanggan, sekolah sebagai penyedia jasa, dan guru sebagai pekerja upahan.

Berbeda halnya dengan sistem pendidikan dalam Islam. Dalam sejarah peradaban Islam, guru bukan hanya dihargai secara sosial, tetapi juga dijamin kesejahteraannya secara ekonomi oleh negara. Hal ini karena pendidikan dipandang sebagai tanggung jawab negara sepenuhnya, bukan diserahkan kepada swasta atau dipandang sebagai komoditas ekonomi.

Negara dalam sistem Islam memiliki berbagai sumber pemasukan yang sah dan melimpah seperti pengelolaan kepemilikan umum (sumber daya alam), kharaj, jizyah, fai’, dan zakat yang dikelola secara amanah untuk kepentingan seluruh rakyat. Dari pemasukan inilah, negara mampu menggaji guru dengan layak tanpa harus bergantung pada utang luar negeri atau memeras pajak rakyat kecil.

Selain itu, sistem pendidikan Islam dibangun atas asas takwa dan keikhlasan, bukan hanya orientasi duniawi. Namun keikhlasan itu tidak berarti mengabaikan kebutuhan hidup guru. Justru dengan menjamin kesejahteraan mereka, negara membantu guru untuk fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai pembina peradaban.

Penghapusan tunjangan guru di Banten harus menjadi momentum evaluasi besar-besaran terhadap arah kebijakan pendidikan kita. Sampai kapan guru terus menjadi korban dari kebijakan anggaran yang tidak berpihak? Sampai kapan kesejahteraan guru menjadi nomor dua, sementara tuntutan terhadap mereka terus diperbesar?

Negara tidak bisa lagi memandang pendidikan dan guru dengan kacamata kapitalistik. Dibutuhkan perubahan mendasar dalam sistem pengelolaan pendidikan dan ekonomi agar kesejahteraan guru bisa benar-benar diwujudkan. Karena sejatinya, pendidikan yang berkualitas hanya bisa dihasilkan oleh guru yang sejahtera, baik secara ekonomi, sosial, maupun mental. Dan itu hanya mungkin terwujud jika sistem yang menopangnya pun berpihak sepenuhnya pada kemaslahatan rakyat, bukan pada kepentingan pasar dan elit penguasa.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama