Oleh: Dhevi Firdausi, ST.
Pada bulan Mei, negara kita mendapat kunjungan dari presiden Perancis. Kunjungan kenegaraan kepala negara Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia ini berlangsung beberapa hari. Seperti dikutip dari laman www.tempo.co yang menyatakan bahwa lawatan tersebut menjadi momen penting yang mempertegas hubungan bilateral antar kedua negara. Pertemuan dua pemimpin negara ini menghasilkan sederet kesepakatan strategis yang mencakup sektor energi, infrastruktur, kesehatan, hingga budaya. Besar harapan, kerjasama bilateral yang akan terjalin benar-benar dapat menguntungkan kedua belah pihak, khususnya Indonesia.
Macron yang didampingi Ibu Negara Brigitte Macron, disambut hangat oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta, lengkap dengan penghormatan 21 tembakan meriam dan bendera merah-putih biru yang berkibar di sepanjang jalur protokol. Tidak hanya berada di istana, kepala negara tersebut juga menyempatkan waktu untuk berwisata ke Candi Borobudur. Tentu saja, pihak pengelola candi sangat bersukacita. Mereka bahkan menyiapkan eskalator khusus, untuk menyambut kunjungan tersebut.
Sambutan yang terlihat begitu hangat dan meriah atas kedatangan kepala negara Perancis tersebut mendapat perhatian dari masyarakat. Banyak yang mempertanyakan, layak kah Perancis mendapatkan sambutan sebegitu meriah? Pasalnya, Perancis merupakan negara yang banyak membuat kebijakan Islamophobia. Islamophobia merupakan paham atau sikap yang menggambarkan ketakutan dan kebencian terhadap Islam. Sikap ini awalnya muncul di negara-negara barat dan berkembang di sana. Tidak hanya Perancis, bangsa adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris pun juga sering mengeluarkan kebijakan yang cenderung berisi Islamophobia.
Contoh dari kebijakan Islamophobia Perancis adalah pelarangan hijab, kasus kartun yang menghina nabi Saw, dll. Larangan hijab di sekolah-sekolah diputuskan pada tahun 2004 yang lalu. Namun, masih berlangsung sampai saat ini. Perancis yang menjadi tuan rumah olimpiade dunia tahun 2024, mengeluarkan kebijakan untuk melarang atlet wanita memakai hijabnya. Akibatnya, beberapa atlet wanita Indonesia mengurungkan niatnya untuk mengikuti ajang kompetisi kelas dunia tersebut. Kondisi ini sempat beberapa kali mengguncang dunia, serta mendapat respon keras dari umat Islam. Sayangnya, keputusan tersebut didukung penuh oleh presiden Perancis, Emmanuel Macron.
Sikap tegas dan menunjukkan pembelaan atas kemuliaan agama seharusnya ditunjukkan oleh pemimpin negeri muslim, terlebih sebagai negara dengan umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Pelarangan hijab dan kartun nabi Saw jelas telah menodai kemuliaan agama Islam. Dalam Islam, wanita diwajibkan untuk menggunakan hijab untuk menutup aurat mereka. Perintah tersebut langsung dari Sang Pencipta manusia, yaitu Allah SWT. Setiap rakyat berhak untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing. Pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh suatu negara, termasuk larangan hijab atas rakyatnya, sangat disayangkan. Apalagi tidak ada akibat yang perlu dikuatirkan dengan pemakaian hijab ini. Wanita yang berhijab justru tampak lebih sopan, tidak menggoda laki-laki yang bukan mahramnya. Begitu Islamophobianya pemerintah Perancis, hingga melarang warganya untuk berhijab.
Dalam Islam, wahyu dari Allah SWT turun kepada Rasulullah Saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Wahyu tersebut kemudian dibukukan dalam kitab suci Al-Qur'an, untuk dijadikan pedoman kehidupan. Rasulullah Saw adalah suri teladan kita, manusia terbaik sepanjang masa, yang dicintai oleh Allah SWT. Beliau tidak layak untuk dihinakan. Dalam karikatur yang dibuat oleh Perancis tersebut, Rasulullah Saw digambarkan sebagai sosok yang gila wanita dan seorang pembunuh. Ini sungguh sebuah penghinaan atas umat Islam. Wajar, jika perbuatan tersebut dikecam oleh masyarakat muslim dunia. Kita tentu tidak mudah melupakannya. Karikatur tersebut telah melukai hati umat Islam, termasuk rakyat Indonesia.
Namun, sistem yang berkuasa di dunia internasional sekarang ini adalah sistem sekular kapitalisme. Sistem sekular merupakan sebuah pemahaman yang berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh ikut campur dalam urusan sosial masyarakat, termasuk hubungan antar negara. Agama berlaku di tempat ibadah saja, hanya untuk mengatur ibadah ritual. Sedangkan kapitalisme, merupakan pemahaman yang memandang segala sesuatu diukur berdasarkan manfaat materi semata. Standar yang dipakai adalah untung dan rugi. Kerjasama bilateral antara dua negara terjalin karena berharap saling menguntungkan satu sama lain. Termasuk hubungan antara Indonesia dengan Perancis, dipandang akan menguntungkan Indonesia. Oleh karena itu, kedatangan presiden Macron disambut dengan luar biasa.
Dalam sistem sekular kapitalisme ini hubungan antar negara dilihat berdasarkan manfaat. Termasuk negeri kita, penguasa seolah sudah melupakan sikap negara lain yang menghina Islam. Sistem ini membentuk masyarakat yang memiliki pandangan tidak ada yang namanya teman abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Dulu pemerintah ikut mengecam pembuatan karikatur Rasulullah Saw, sama seperti masyarakat dunia lainnya. Namun, sekarang justru menyambut kedatangan presiden Perancis tersebut. Sikap tidak konsisten ini biasa terjadi dalam sistem sekular kapitalisme. Tidak hanya negara kita, negara lain di dunia pun mayoritas menerapkan sistem yang fasad tersebut. Akibatnya, negara-negara barat yang dulu pernah dikecam, kini tetap dihormati untuk menjadi penguasa perekonomian dan politik dunia.
Pemerintah sangat berharap Indonesia akan semakin maju melalui hubungan kerjasama bilateral yang akan terjalin. Namun, jika kita cermati, Perancis tidak akan membiarkan negara berkembang untuk maju menguasai perekonomian. Sama seperti negara barat lainnya, Perancis ingin tetap menguasai dunia dengan melakukan neo imperialisme atau penjajahan gaya baru. Jadi kedatangan presiden Macron ke negara kita adalah untuk kepentingan negara mereka sendiri. Sederet kesepakatan strategis yang akan dilakukan hanya akan melanggengkan kekuasaan Perancis atas Indonesia, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi.
Ditambah lagi, dunia internasional sekarang ini sedang mengalami perang dagang. Perang dagang tersebut terjadi antara Amerika Serikat dan China. Mereka berebut kekuasaan atas negara berkembang, untuk eksplorasi bahan mentah serta konsumen barang dagangan. AS tentu tidak sendirian, ada Inggris dan Perancis sebagai pihak sekutunya. Lawatan presiden Perancis ke negara berkembang, termasuk Indonesia, diduga sebagai salah satu langkah untuk memenangkan perang dagang dunia tersebut. Sebelum Perancis datang, perwakilan dari China sering berkunjung ke Indonesia. Kunjungan tersebut sukses untuk memasukkan barang dagangan China ke negara kita. Waktu itu, UMKM yang sedang digalakkan kalah bersaing dengan produk China yang harganya jauh lebih murah namun kualitas baik.
Islam adalah agama yang sempurna. Ajaran islam memberikan tuntunan bagaimana bersikap terhadap pihak bertentangan dengan syari'atnya. Khususnya terhadap negara yang kebijakannya banyak menyudutkan umat Islam. Tidak hanya Perancis, negara barat lainnya juga banyak yang seolah takut dan tidak menyukai Islam. Diantaranya adalah Inggris dan Amerika Serikat. Pada masa dulu, Inggris telah menjajah Nusantara dengan merampas rempah-rempahnya. Pada masa sekarang, Amerika dengan jargon war on terrorism yang menyudutkan umat Islam, menuduh mereka sebagai teroris. Walaupun pada akhirnya, terbukti semua kejadian pada saat 911 tersebut hanya rekayasa dari negara adidaya itu sendiri.
Jika dikaitkan dengan konflik di Palestina. Penjajahan yang dilakukan oleh zionis Yahudi kepada rakyat Palestina mendapat dukungan penuh dari penguasa negara barat. Palestina dibombardir, warganya dibunuh, segala bangunan dihancurkan oleh zionis Yahudi sampai saat ini. Genosida tidak mungkin mampu berlangsung lama, tanpa didukung oleh negara adidaya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Amerika dan negara barat lainnya memberikan support kepada zionis berupa pasokan senjata dan tentara. Amerika, Inggris, dan Perancis ada di belakang zionis Yahudi untuk menguasai Palestina. Sementara itu, rakyat Palestina adalah saudara kita sesama muslim. Persaudaraan dalam Islam ibarat satu tubuh, jika ada bagian yang menderita sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan sakitnya. Setidaknya, kita memiliki empati atas kondisi saudara muslim di Palestina. Bukan hanya mengutamakan kepentingan negara sendiri.
Lantas, pantaskah kita menyambut dengan gempita kedatangan kepala negara Pengusung Islamophobia tersebut? Mengingat Perancis memiliki latar belakang yang terkesan takut dan tidak menyukai Islam, dengan berbagai kebijakannya. Sedangkan, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas rakyatnya beragama Islam.