Hana S. Muti
Muslimahvoice.com - Masyarakat merasakan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) banyak dampak tak baik bagi siswa dan orang tua. Tak dapat dimungkiri banyak siswa depresi hingga bunuh diri karena tugas yang menumpuk. Tak sedikit pula yang memilih putus sekolah, belum lagi masalah jaringan internet dan kuota belajar yang tidak dimiliki.
Orang tua juga ikut stres sebab beban mendampingi pembelajaran daring. Tenaga pengajar juga mengalami kesulitan akibat mengejar target pelajaran sesuai kurikulum, sementara sarana dan prasarananya tak memadai. Ya, ini hanya sekelumit masalah yang terjadi saat PJJ diberlakukan.
Akhirnya, publik pun mendesak pemerintah untuk membuka sekolah tatap muka. Tak menunggu lama, pemerintah mengabulkannya dengan menyampaikan keputusan sekolah tatap muka tanpa memberi perhatian berimbang dalam persiapan infrastruktur dan protokol kesehatan.
Hal ini bertolak belakang dengan pandangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menilai bulan April dan Juni 2021 bukanlah momentum tepat melakukan uji coba terbatas sekolah tatap muka. Seharusnya, bulan-bulan tersebut digunakan untuk mempersiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan di lingkungan sekolah.
Menurut pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, Sekolah Tatap Muka Masih Berisiko Tinggi. (bbc.com, 24/3/2020).
Sementara itu, hasil pengawasan KPAI pada Juni—November 2020 menunjukkan hanya 16,3 persen sekolah yang sudah siap PTM dari 49 sekolah di 21 kabupaten/kota pada 8 provinsi. Sekolah yang mengisi daftar periksa PTM Kemdikbud hanya 50 persen sekolah dan hanya sekitar 10 persen yang sangat siap PTM. (nasional.kontan.co.id, 4/4/2021).
Beberapa waktu lalu, pihak sekolah, tempat anak-anak emak bersekolah, meminta wali murid untuk menandatangani surat pernyataan, Untuk mengizinkan anak sekolah tatap muka atau tidak. Artinya bahwa wali murid bersedia menanggung resiko atas anaknya sendiri jika pembelajaran tatap muka dibuka.
Emak sangat maklum, bahwa pihak sekolah pasti memahami resiko PTM ditengah pandemi yang belum usai. Meskipun sekolah telah berusaha semaksimal mungkin, bahkan secara swadaya untuk menyediakan sarana yang diperlukan untuk memenuhi prokes.
Namun, kita tahu, negara-negara yang sudah membuka sekolah di masa pandemi, seperti Jepang dan Korea, telah melakukan penyiapan sungguh-sungguh serta memiliki mitigasi risiko yang baik sehingga dapat mencegah sekolah menjadi kluster baru.
Pertama, menyiapkan westafel yang memadai hingga alat thermo gun sesuai jumlah peserta didik agar tidak terjadi penumpukan atau kerumunan siswa saat diukur suhu tubuhnya.
Kedua, sekolah juga harus memiliki ruang ganti untuk warga sekolah yang naik kendaraan umum untuk berganti seragam.
Ketiga, sekolah juga menyediakan ruang isolasi sementara untuk kondisi darurat, misalnya ada warga sekolah yang suhunya di atas 37,3 derajat.
Keempat, para guru dan peserta didik tidak melepas masker meski dalam proses belajar mengajar.
Kelima, Para guru melakukan pemetaan materi pembelajaran, antara materi yang sulit dan mudah. Hal ini dibutuhkan mengingat PTM hanya separuh kelas, maka PTM dan PJJ harus dilakukan secara bergantian.
Keenam, orang tua harus melatih anak-anaknya menggunakan masker setidaknya selama empat jam tanpa dilepas. Bekerja sama dengan pihak sekolah memastikan anak-anaknya langsung pulang setelah selesai sekolah.
Semua itu betul-betul diurus sepenuhnya oleh pemerintah negara mereka.
Apa kabar sekolahnya anak-anak? Sarana prokes saja banyak swadaya, apa jadinya dengan sekolah sekolah swasta di daerah prasejahtera? Hal ini bisa mengerikan, karena transmisi di kalangan murid akan tinggi hingga dapat menciptakan klaster sekolah.
Padahal, tingkat positif di Indonesia berada di angka 13 persen yang artinya memiliki penularan tinggi dan berbahaya bagi siswa dan tenaga pendidik jika harus bersekolah.
Sangat disayangkan jika pemerintah hanya fokus mendengar desakan publik untuk membuka sekolah tatap muka. Sebab, banyak nyawa masyarakat yang dipertaruhkan.
Begitulah, publik masih meragukan kesungguhan pemerintah dalam menyiapkan sekolah di tengah pandemi. Sebab, PJJ saja masih menyisakan berbagai masalah yang tak kunjung bisa diselesaikan dengan baik.
Solusi Islam, Kebijakan Khilafah Menjamin Keselamatan Manusia.
Khalifah sebagai pemimpin tertinggi akan menyandarkan setiap kebijakannya pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak hanya mengandalkan kecerdasan dan kemampuan manusiawi, apalagi fokus karena desakan masyarakat.
Terjadi sinergi antara negara sebagai pelaksana hukum syariat yang dipimpin seorang pemimpin mulia, dengan rakyat yang mudah menerima amar makruf nahi mungkar.Maka, setiap kebijakannya menjamin keselamatan manusia di atas pertimbangan syariat.
Dalam diri pemimpinnya, tidak ada keraguan untuk mengambil kebijakan berdasarkan syariat, karena merupakan wahyu Allah yang Mahabenar, bukan hasil uji coba kecerdasan akal semata.
Berbeda dengan para pemimpin dalam sistem demokrasi, setiap kebijakan yang mereka putuskan justru berakhir dengan munculnya masalah baru. Dampaknya, rakyat makin ragu dengan setiap kebijakan. Masyarakat perlu menyadari bahwa tidak hanya dibutuhkan pemimpin yang cakap, tapi juga butuh adanya sistem yang baik pula.
Mustahil mengharapkan kebijakan yang dikeluarkan pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalis dapat menyelesaikan berbagai masalah. Sebab, setiap kebijakan yang diputuskan lebih mempertimbangkan kemudahan (ekonomi atau untung rugi) tanpa memperhatikan keselamatan jiwa.
Sementara, setiap kebijakan pemimpin dalam sistem Khilafah dipastikan akan penuh pertimbangan matang, bahkan menggratiskan seluruh fasilitas pendidikan. Hal ini mungkin, karena para pejabatnya bertakwa, sehingga tidak akan korupsi. Segala kebutuhan masyarakat akan terpenuhi dan keselamatannya akan terjamin. Wajarlah Islam menjadi peradaban yang gemilang hingga terdepan di segala bidang yang telah terbukti selama ribuan tahun. Semoga pemikiran umat segera bangkit. Kembali pada syariat dengan tegaknya Khilafah menjadi solusi atasi berbagai masalah kehidupan.[]