Oleh: Puji Ariyanti
(Pemerhati Generasi)
Perceraian di Indonesia menjadi tren dan semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2018, angka perceraian Indonesia mencapai 408.202 kasus, meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua sebanyak 110.909 kasus.
Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%). Salah satu kriris keluarga yang tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah perceraian sebagaimana dalam Pasal 74 ayat 3c. Pemerintah daerah juga wajib melaksanakan penanganan krisis keluarga karena perceraian dalam Pasal 78 RUU Ketahanan. (Databoks 22/2/'29)
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diusulkan DPR terus menuai pro dan kontra. Rancangan Undang-Undang ini diusulkan karena wujud perhatian terhadap pentingnya menjaga keutuhan keluarga.
Dikutip dalam Kompas.com, RUU Ketahanan Keluarga dikritik sejumlah pihak karena dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi. RUU itu di antaranya mengatur tentang kewajiban suami dan istri dalam pernikahan, hingga wajib lapor bagi keluarga atau individu pelaku LGBT.
Intinya perlu adanya peran negara, dalam pengurusan keluarga. Akan tetapi ada pihak-pihak yang pro atas hal ini. Bahkan mengklaim ada upaya memasukkan ideologi agama tertentu pada RUU ini.
Sejatinya, yang mengusulkan dibuatnya RUU ketahanan keluarga, telah merasakan kerusakan generasi yang berimbas terhadap ketahanan keluarga, sehingga perlu adanya kesadaran bersama dalam membuat legalitas RUU ketahanan keluarga.
Nyatanya perbedaan sudut pandang menghasilkan perbedaan sikap, sehingga berujung pada sebuah perdebatan yang pada akhirnya hanya saling menyalahkan dan tidak akan membawa perubahan pada kondisi buruk ini.
Faktanya niat terpuji tidak akan pernah terwujud jika tujuan sebagian pihak berorientasi sekuler. Pro-kontra adalah dua contoh perdebatan yang runcing di mana peran negara dan agama dipertaruhkan dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini. Sudah pasti polemik akan terus berlangsung jika bangsa ini menyepakati sekularisasi agama dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Jika agama (Islam) hanya diposisikan sebagai keyakinan individu atau kelompok dakwah, tentu saja agama tidak akan mendapatkan posisinya sebagai pengatur kehidupan manusia dalam konteks perundang-undangan negara. Syariat Islam harus diyakini secara sempurna. Tidak hanya nilai spiritual semata, namun juga merupakan pedoman hidup, yang akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia. Oleh karena itu sudah selayaknya bangsa ini bersama-sama menerima syariat tanpa ada penolakan.
/Islam Penjaga Ketahanan Keluarga/
Dalam Islam, negara dan agama bak saudara kembar. Tidak mungkin dipisahkan. Agama dan Syariat Islam tertuang dalam wujud negara. Negara membingkai penerapan syariat Islam. Representasi Islam adalah negara.
Nilai-nilai agama sudah seharusnya menjadi pondasi penting dalam kehidupan berkeluarga. Dengan nilai-nilai agama (Islam), masing-masing anggota keluarga akan memahami peran dan tanggungjawabnya masing-masing dan selalu mengupayakan kehidupan keluarganya distandarkan pada nilai-nilai Islam dalam implementasi maupun penyelesaian masalah.
Untuk itulah Islam menetapkan negara sebagai penanggung jawab utama untuk kebaikan bangsa, masyarakat termasuk keluarga. Ketahanan keluarga adalah isu penting dalam Islam, sebagai madrasah ula, keluarga ditempatkan sebagai dasar pembentukan identitas bangsa.
Antara negara dan keluarga adalah sebuah dimensi di mana satu sama lainnya punya keterikatan. Membangun sinergi yang kuat dan strategis. Suksesnya kepemimpinan kepala keluarga dalam mewujudkan keluarga sholih nan mushlih (menebar kebaikan di tengah masyarakatnya), tidak akan terwujud tanpa ditopang oleh kepemimpinan di tingkat negara.
Pendek kata, negara adalah sebuah wadah yang wajib menampung segala kebutuhan warga negaranya tanpa tanding, dari urusan ekonomi, pendidikan, kesehatan, moral, akhlak dan lain sebagainya.
Berbeda sekali dengan sistem sekuler. Jelas tidak mampu memberi solusi tuntas atas problem keretakan Rumah Tangga, karena akar masalahnya sistemis dan penyelesaiannya parsial cenderung kontraproduktif sehingga memunculkan masalah baru dalam Rumah Tangga.
Semangat untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan yang lahir dari pemahaman syariat akan mendapat perlawanan sengit dari pihak moderat sekuler. Wallahu a'lam bishowab.
Daftar Bacaan
https://www.muslimahnews.com/2020/02/22/ketahanan-keluarga-antara-harapan-dan-kenyataan/