Sengkarut Sertifikasi Halal dalam Omnibus Law

 


Oleh Hanin Syahidah 


muslimah-voice.com - Omnibus law (UU Cipta Kerja) masih terus menuai kontroversi. Kali ini bukan tentang soal pekerja, melainkan tentang sertifikasi halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). 


Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya (rri.co.id, 14/10/2020)


Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mendapatkan sertifikat halal pada Pasal 29 ayat (3) diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja. Pasal 35 diubah menjadi sertifikat halal sebagaimana Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk. Ini berbeda dalam UU yang berlaku sebelumnya. Pada pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan sertifikat halal diterbitkan BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI (Kompas.com, 8/10/2020).


Selanjutnya, Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal, pasal ini dinilai Indonesia Halal watch (IHW) melemahkan peran ulama. (Republika, 9/10/2020)


Tak ayal lagi UU ini dinilai memberi peluang self declare (deklarasi mandiri) secara serampangan oleh produsen, tentu kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Lantas apa yang melatarbelakangi UU Cipta Kerja menyasar pembahasan produk halal yang sebelumnya diampu oleh BPOM MUI, sekarang akan diambil alih oleh BPJPH di bawah Kementerian Agama? 


Sebagaimana yang dirilis Kompas.com (19/8/2020) bahwasanya masterplan Ekonomi Syariah Indonesia tahun 2019 - 2024 berupaya untuk mewujudkan pengembangan sektor riil ekonomi syariah atau yang dikenal dengan industri halal. Kawasan Industri Halal pertama yang dimiliki Indonesia yakni Modern Halal Valley di Cikande, Banten. Direktur Pengembangan Ekonomi Syariah dan Industri Halal Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Afdhal Aliasar, menyampaikan ini merupakan langkah konkret perwujudan strategi besar masterplan Pengembangan Ekonomi Syariah Indonesia. (Republika.co.id, 7/9/2020) 


Selain Modern Cikande, pemerintah berencana mewujudkan empat kawasan lagi yang akan dibangun. Yakni Bintan Inti, Batamindo, Jakarta Pulogadung, dan Safe and Lock Sidoarjo. Terkait KIH (Kawasan Industri Halal) ini, Direktur Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian RI, Ignatius Warsito mengatakan melalui KIH, pemerintah ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara ramah investasi. Kementerian Perindustrian RI pun akan mudahkan investasi untuk kawasan industri halal (KIH) di Indonesia. (Republika.co.id, 1/10/2020).


Senada dengan pendapat tersebut, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Dody Widodo menyampaikan industri halal Indonesia berpotensi menjadi basis produksi halal bagi negara-negara Asia dan Timur Tengah.(Kompas.com, 19/8/2020).


Dari sini kita melihat adanya Kawasan Industri Halal ini sebagai upaya menarik investor asing dan memudahkan perizinan mereka berinvestasi di dalam negeri. Hal ini tentu menguntungkan para korporasi asing karena memudahkan mereka mengantongi perizinan sertifikasi kehalalan produknya. 


Mudahnya regulasi perizinan sertifikasi kehalalan produk tentu sangat mengkhawatirkan. Karena memastikan kehalalan produk tentu butuh pendetailan fakta dan penggalian hukum. Sehingga tak bisa ditarget dalam waktu yang singkat. 


Dari sini jelas, bahwasanya pemerintah menimbang berdasarkan untung-rugi semata. Padahal memastikan produk benar-benar terjamin kehalalannya itu jadi concern utama kaum muslim. Bagaimana mungkin, halal-haram dikesampingkan. Karena ia yang akan masuk dalam tubuh kaum muslim. 


Logika Kapitalisme jadi ujung tombak keberlangsungan negeri ini. Tak untung, pemerintah kalang kabut. Rakyatlah yang akhirnya kembali terseok-seok memastikan kehalalan sebuah produk.


Dalam Kapitalisme, acapkali ulama hanya dijadikan sebagai legislator dan stempel produk halal saja bukan sebagai pengarah arah kebijakan negara agar sesuai syariat Islam. Fatwa hanya digunakan untuk menguntungkan rezim bukan untuk problem solver. Padahal mereka adalah lentera yang menerangi umat, mereka  menjadi petunjuk atas hujjah Allah diatas bumi. 


Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: "Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul, manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR Imam Ahmad).


Dalam Islam halal-haram sangat penting, karena menyangkut apa yang mengalir dalam darah ratusan juta muslim di negeri ini. Kebijakan sesuai syariat dan kemaslahatan publik tidak akan dapat diraih tanpa institusi negara yang berhukum dengan syariat Islam yakni Khilafah Islamiyyah. Institusi yang digariskan oleh Allah dari berbagai hadis Rasulullah saw. Rasulullah bersabda: 


"Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi wafat maka diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, yang ada adalah para khalifah dan mereka semakin banyak….” (HR. Al-Bukhari Kitabul Anbiya) 


Khilafah yang dipimpin seorang khalifah. Yang menyediakan jaminan halal bagi rakyat  karena dia adalah pelayan dan penanggung jawab kepentingan rakyat, Rasulullah bersabda:


Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).


Jaminan dan sertifikasi produk halal adalah tanggung jawabnya. Ia juga yang menetapkan suatu barang itu halal atau tidak, dan sertifikasi itu dilakukan secara cuma-cuma, tidak boleh menjadi ajang bisnis. Jaminan untuk keputusan satu produk itu halal atau tidak dilakukan dari mulai proses pembuatannya sampai barang itu ada di tangan-tangan konsumen untuk dikonsumsi. 


Sementara untuk barang haram atau yg mengandung unsur-unsur haram akan disterilkan dari pasar. Khalifah akan memberi sanksi kepada  industri atau pabrik-pabrik yang memproduksi barang-barang haram, pedagang yang menjual barang-barang haram, dan masyarakat yg mengonsumsi barang-barang haram. Misalnya ketika ditemui dalam Khilafah Islamiyyah ada  seorang muslim yang minum khamr akan dikenai sanksi dengan dijilid 40 sampe 80 kali oleh Khalifah. Contoh berikutnya adalah Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada para wali, memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari nonmuslim (Al Amwaal, Abu Ubaid hal. 265). 


Adanya ketegasan hukuman serta pembersihan barang haram di tengah-tengah masyarakat, yakni untuk melindungi umat dari mengonsumsi dan memperjualbelikan zat yang telah diharamkan, sehingga umat tidak perlu was-was dan khawatir akan status barang yang akan mereka konsumsi. Demikianlah jaminan yang diberikan oleh syariat Islam terkait penjagaan untuk umat Islam agar senantiasa  tetap lurus mengikuti syariat Islam yang membawa Rahmat bagi seluruh Alam. [] 


Wallahu a'lam bi ash-shawab


#LabelHalal

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama