Oleh: Anita Ummu Taqillah (Anggota Komunitas Setajam Pena)
muslimah-voice.com - Demokrasi dzalim. Kebijakan demi kebijakan terus bergulir. Tak peduli rakyat menolak, palu tetap diketok. Tak peduli demo membludak, aturan baru tetap ditegakkan. Ujungnya, rakyat hanya gigit jari. Wakil rakyat yang katanya berpihak, tak bisa diandalkan untuk bersuara sesuai hati rakyat.
Satu tahun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memerintah di periode kedua ini. Namun, sudah ada beberapa kebijakan kontroversial yang melukai negeri ini. UU KPK menjadi polemik pertama di awal periode kedua Jokowi. Rencana revisi UU itu pertama kali muncul di DPR pada 2015 yang memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Program Legislasi Nasional. Kemudian berulang pada 2016. Pembahasan revisi UU KPK kembali ditunda usai kesepakatan Jokowi dengan DPR.
Namun akhirnya UU Nomor 19 Tahun 2019 itu berhasil disahkan pada 17 September 2019, selang sebulan sebelum pelantikan periode kedua Jokowi. Prosesnya sangat cepat. Usai diketok di paripurna, draf UU tersebut langsung dikirimkan ke presiden di hari yang sama (cnnindonesia, 20/10/2020).
Pasal-pasal kontroversi yang disorot publik di antaranya soal pembentukan dewan pengawas, pengajuan izin penyadapan, hingga penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Desakan penerbitan Perppu untuk mencabut UU KPK pun mencuat. Namun Jokowi berkukuh tak bakal menerbitkan Perppu.
Pengesahan selanjutnya adalah UU Minerba yang juga mendapat penolakan dari kalangan masyarakat sipil. RUU Minerba yang menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu disahkan pada 13 Mei 2020. Sistem kebut pengesahan juga terjadi pada revisi UU MK. Pembahasan UU hanya berjalan tiga hari mulai 25-28 Agustus.
Dikutip dari kompas.com (20/10/2020), revisi UU MK juga merupakan usulan DPR disepakati pemerintah. Pembahasan RUU MK dikebut DPR dan pemerintah hanya dalam waktu tujuh hari kerja. RUU MK disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada 1 September 2020.
Kemudian yang paling panas dan menuai kritik serta demonstrasi panjang adalah pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw). UU Cipta Kerja dibahas DPR dan pemerintah hanya dalam kurun waktu enam bulan. Padahal, UU Cipta Kerja mengubah sebanyak 79 undang-undang mulai dari urusan perizinan usaha pemanfaatan lahan, hingga ketenagakerjaan. Bahkan UU Cipta Kerja juga mengusik publik dengan adanya pasal yang meneyebutkan pelegislasi halal produk tidak hanya MUI.
Tak hanya publik yang memprotesnya. Sejumlah kalangan ahli pun menyayangkan kebijakan-kebijakan tersebut. Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menilai pemerintah hanya menganggap kritik publik sebagai angin lalu. DPR yang semestinya menjadi pengontrol pemerintah pun dianggap dalam posisi yang lemah karena justru selalu sepakat dengan pemerintah.
"Tiap ada upaya penolakan, mereka (DPR dan pemerintah) cuek, berpikir bahwa semuanya akan reda sendiri. Mereka cuek dengan tekanan publik. Jadi membiarkan dan mengabaikan sikap-sikap kritis masyarakat terhadap undang-undang," kata Asep (kompas.com, 20/10/2020).
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, melihat Jokowi berupaya keras mengejar target pemerintahannya tetapi dengan meminggirkan pelibatan masyarakat.
"Yang kurang, pertama, adalah komunikasi publik. Yang kedua, pemerintah termasuk DPR miskin untuk mendengarkan, kurang mau mendengarkan masyarakat," ujar Hendri.
Begitulah penampakan wajah asli demokrasi. Slogan-slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya omong kosong belaka. Karena yang utama bagi mereka adalah bagaimana pundi-pundi rupiah terkumpul dari para pendukung. Sehingga, kebijakan pun disesuaikan dengan pesanan para korporasi. Tak lagi mendengar aspirasi. Maka wajar jika prosesnya pun seolah terburu-buru, agar rakyat tak mampu memburu.
Akhirnya, kebijakan penuh kezaliman pun tetap dituangkan dalam undang-undang. Karena kebijakan tersebut hanya melukai dan menyudutkan rakyat. Membuat rakyat semakin hidup susah dan menderita.
Dengan kebijakan yang terkesan asal-asalan tersebut, bukan solusi yang didapat. Melainkan permasalahan demi permasalahan justru kian bertambah, menumpuk dan semakin sulit diurai.
Tentu hal ini berbeda jika sistem Islam yang diterapkan. Karena segala kebijakan bersumber dari Sang Maha Pengatur kehidupan Allah SWT, yaitu Al Qur'an dan Hadits. Sehingga, segala kebijakan yang diambil dan diputuskan adalah berdasarkan dalil-dalil syar'i bukan pendapat manusia yang serba lemah dan terbatas.
Pemerintahan dalam Islam tidak anti kritik, namun justru menampung aspirasi rakyat melalui majelis umat, baik dari muslim maupun non muslim. Pemimpin dalam Islam, yakni Khalifah akan menjalankan pemerintahan dengan dukungan penuh rakyat. Apalagi, tujuan dari segala tujuan seluruh kebijakan adalah rida dari Allah SWT. Dengan begitu, maka keberkahan bagi negeri-negeri Islam akan memancar dan dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al A'raf: 96 yang artinya, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
Wallahua'lam bish-showab.